• Histori dan Sejarah PERMAHI dan Terbentuknya DPC Permahi Bali

    Sejak kepergian (Alm) Frits Lumoindong pada tahun 1986, DPC Permahi Denpasar mengalami vacum of power dan tidak terdeteksi siapa Ketua dan para anggotanya. Setelah lama vakum, pada tahun 2009 terdapat keinginan dari Mahasiswa Hukum Bali yang mayoritas berasal dari Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali untuk membentuk sebuah organisasi diskusi hukum yang terdiri dari para Mahasiswa Hukum. Ketika itu mahasiswa Hukum di Bali tidak [...]

  • Menjelang ASEAN Community 2015, Permahi Bali melakukan Simakrama dengan Gubernur Bali

    Inisiatif Permahi Bali dalam menghadapi tantangan globalisasi di kawasan ASEAN, diimplementasikan dengan membuat simakrama (tatap muka) dengan Gubernur Bali (Drs. I Made Mangku Pastika, M.M) Minggu, 10 November 2013, bertempat di Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali. [...]

  • Langkah Berat Indonesia Dalam Memasuki ASEAN Community 2015

    Pernahkah mendengar ASEAN Community ? ASEAN Community adalah cita-cita dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Regional yaitu ASEAN, untuk membentuk suatu masyarakat yang damai, harmonis, makmur, sejahtera dan terintegrasi di wilayah ASEAN tersebut. Langkah ini terbentuk sejak 15 tahun yang lalu pada tahun 1997 ditetapkan bahwa ASEAN Community ditargetkan akan dibentuk pada tahun 2020 mendatang. Tetapi pada [...]

Minggu, 21 Juni 2015

Forex Trading, Legal-kah atau Judi-kah ?

Banyak spekulasi-spekulasi yang beredar dikalangan masyarakat yang skeptis dan mungkin buta terhadap hukum, mengenai kegiatan menanam saham atau yang modern ini disebut sebagai forex trading. Bukan hanya pengusaha bahkan tidak sedikit anak muda yang masih berlatar belakang pelajar / mahasiswa yang bermain forex trading untuk sekedar belajar, atau mungkin sudah hobi mencari uang dengan sistem trading. Hahahaha..

Itu adalah hak masing-masing dari setiap orang. Tetapi pernakah kita berpikir lebih dalam mengenai legalitas penanaman saham atau forex trading ini? Apakah forex trading merupakan kegiatan perjudian modern (modern gambling) ? Mari kita kupas tuntas lebih dalam secara hukum bersama opini legal dari Mr. "V" yang merupakan ahli "Legal Transaction" Permahi Bali berikut ini :

Definisi Perjudian

Perjudian di atur secara tegas dalam KUHP yaitu pada Pasal 303 KUHP  :

Menurut KUHP terjemahan Drs. P.AF. Lamintang, SH & C. Djisman Samosir, SH
(Hukum Pidana Indonesia ; Cetakan Ketiga, 1990, Sinar Baru, Bandung, 1990, hal.185)
(1)    Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), barangsiapa tanpa mempunyai hak untuk itu :
1.    dengan sengaja melakukan sebagai suatu usaha, menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta di dalam sesuatu usaha semacam itu ;
2.    dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta di dalam sesuatu usaha semacam itu dengan tidak memandang apakah pemakaian kesempatan itu digantungkan pada sesuatu syarat atau pada pengetahuan mengenai sesuatu cara atau tidak ;
3.    turut serta didalam permainan judi sebagai usaha.
(2)     Apabila orang yang bersalah melakukan kejahatan tersebut di dalam pekerjaannya, maka ia dapat dicabut haknya untuk melakukan pekerjaan itu.
(3)    Yang dimaksud dengan permainan judi adalah setiap permainan yang pada umumnya menggantungkan kemungkinan diperolehnya keuntungan itu pada faktor kebetulan, juga apabila kesempatan itu menjadi lebih besar dengan keterlatihan yang lebih tinggi atau dengan ketangkasan yang lebih tinggi dari pemainnya. Termasuk ke dalam pengertian permainan judi adalah juga pertarohan atau hasil pertandingan atau permainan-permainan yang lain, yang tidak diadakan antara mereka yang turut serta sendiri di dalam permainan itu, demikian pula setiap pertarohan yang lain.   

    -   Unsur - unsur pasal 303 ayat (1) ke-1 (yang pertama)
a.    unsur subjektif     :     Dengan sengaja
b.    unsur objektif       :     1.      barangsiapa
                                       2.      tanpa mempunyai hak untuk itu
                                       3.      melakukan sebagai usaha
                                       4.      menawarkan atau memberikan kesempatan
                                       5.      untuk bermain judi.

Seiring berkembang-nya zaman dan teknologi semakin canggih maka perjudian pun bukan lagi secara fisik yang dapat dilihat, melainkan adanya perjuadian digital yang berkembal dalam dunia cyber computer. Indonesia telah mengemas larangan perjudian digital ini dalam Pasal 27 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dikatakan bahwa :
  
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”. 

Ancaman terhadap pelanggaran ini adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar rupiah. Sama seperti KUHP, Pasal 27 ayat (2) UU ITE ditujukan terhadap pemain maupun Bandar.


Definisi Saham 

Di lain sisi, pengertian saham tidak secara spesifik di atur dalam undang-undang. Hanya istilah saham dapat kita temukan di UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu pada :
Pasal 1 angka 1 UUPT:
“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Pasal 31 ayat (1) UUPT:
“Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.” 

Intinya, saham adalah salah satu bentuk surat berharga yang diperdagangkan termasuk di pasar modal. Surat berharga ini merupakan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan usaha dalam suatu perseroan terbatas. Dengan memiliki saham, pemegang saham memiliki piutang (hak tagih) terhadap perusahaan, dan ia dapat memperdagangkan (menjual) saham tersebut kepada orang lain.  Jumlah, nilai, dan jenis saham yang dimiliki seseorang dalam suatu perseroaan terbatas dapat mempengaruhi kontrol orang tersebut terhadap perusahaan yang dimaksud. Secara umum, perdagangan saham di Indonesia adalah sah menurut peraturan perundang-undangan.


Status Hukum Forex Trading

Berdasarkan uraian di atas, yang paling nyata membedakan perjudian dan perdagangan saham adalah bahwa menurut peraturan perundang-undangan perjudian dilarang, sedangkan perdagangan saham secara umum diperbolehkan. Dasar hukum perdagangan saham / forex trading bisa dilihat secara detail di PP No. 12 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal. Beberapa tulisan menjelaskan perbedaan antara saham dan judi ialah bahwa jual beli saham merupakan transaksi yang dilakukan berdasarkan perhitungan dan analisis, sedangkan perjudian hanya berdasarkan peruntungan belaka.


Hal ini tidak sepenuhnya tepat. Mungkin terhadap judi konvensional seperti togel atau sabung ayam dapat masuk ke dalam kategori peruntungan belaka. Tapi bagaimana dengan judi taruhan untuk pertandingan bola atau basket? Dalam banyak kasus pertaruhan dalam pertandingan lebih banyak didasarkan pada analisa dan perhitungan kekuatan tim. 

Semoga tulisan ini dapat membuka sedikit wawasan kita tentang pemahaman legalitas perdagangan saham /Forex Trading. Selamat bermain saham saudara/i sekalian... :)


Selengkapnya dapat dilihat Link berikut :
  
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5120047721962/definisi-saham-dan-obligasi

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54c691cc58f4f/apakah-forex-termasuk-judi?-

http://www.bapepam.go.id/desain_baru/pasar_modal/regulasi_pm/pp_pm/index.htm

Jumat, 19 Juni 2015

Hukum Adopsi Anak serta Perlindungan Anak


















Tragedi Angeline yang merupakan korban kekerasan anak, mengingatkan kita kembali pada kasus-kasus kejahatan anak yang pernah terjadi di Indonesia. Sebut saja kasus Arie Anggara, yang merupakan kasus lawas yang sangat terkenal di Indonesia. Kasus Arie Anggara yang tewas akibat dianiaya orangtuanya merupakan kasus fenomenal pada zamannya, sampai-sampai kasus ini dikisahkan dalam sebuah film yang berjudul "Arie Anggara" karya Frank Rorimpandey. Sedikit berbeda dengan kasus Arie Anggara, kasus Angeline yang merupakan anak adopsi kerap dianiaya oleh orangtua angkatnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang sedikit menggelitik para civitas hukum khususnya mahasiswa, yaitu bagaimanakah status hukum anak adopsi serta perlindungannya ?

Hukum & Perlindungan Anak Adopsi

Hukum positif Indonesia memperbolehkan untuk mengadopsi anak secara legal. Sejak jama Belanda, Indonesia mengenal adopsi anak berdasarkan Staatblaad 1917 No. 129, diatur tentang pengangkatan anak yang hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang, selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun seiring perkembangannya Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada tanggal 29 Mei 1963 mengeluarkan putusan yang memperbolehkan mengadopsi anak perempuan. Dan putusan tersebut akhirnya menjadi Yurisprudensi bagi hukum adopsi di Indonesia.
Adanya Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, menjadi titik terang mengenai prosedur serta status anak yang di adopsi oleh orangtua angkat. Bagai mana langkah / prosedur dalam mengadopsi anak ?

Berikut prosedurnya:

1. Ajukan surat permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggal calon anak angkat. Pemerintah telah menunjuk dua yayasan untuk melayani proses adopsi, yaitu Yayasan Sayap Ibu (Jakarta) dan Yayasan Matahari Terbit (Surabaya).

2. Petugas dari dinas sosial akan mengecek; mulai dari kondisi ekonomi, tempat tinggal, penerimaan dari calon saudara angkat (bila sudah punya anak), pergaulan sosial, kondisi kejiwaan, dan lain-lain. Pengecekan keuangan dilakukan untuk mengetahui pekerjaan tetap dan penghasilan memadai.

Untuk WNA, harus ada persetujuan/izin untuk mengadopsi bayi Indonesia dari instansi yang berwenang dari negara asal.

3. Anda dan calon anak angkat diberi waktu untuk saling mengenal dan berinteraksi. Pengadilan akan mengizinkan membawa si anak untuk tinggal selama 6-12 bulan, di bawah pantauan dinas sosial.

4. Menjalani persidangan dengan menghadirkan minimal dua saksi.

5. Permohonan disetujui atau ditolak. Bila disetujui, akan dikeluarkan surat ketetapan dari pengadilan yang berkekuatan hukum.

6. Surat persetujuan itu dasar untuk mencatatkan ke kantor catatan sipil.

Proses minimal yang harus dijalankan calon orangtua angkat adalah surat pernyataan orangtua ketika menyerahkan anak. Untuk calon anak angkat yang berasal dari panti asuhan, yayasan harus mempunyai surat izin tertulis dari Menteri Sosial yang menyatakan yayasan tersebut telah diizinkan di bidang kegiatan pengangkatan anak.

Calon orangtua angkat kemudian mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, calon anak angkat juga harus mendapat izin tertulis dari Menteri Sosial/pejabat yang ditunjuk. Setelah permohonan itu diterima pengadilan negeri, pemeriksaan pun akan segera dilakukan. Ada dua tahap selama proses di pengadilan yaitu :


Tahap pertama: Pengadilan mendengar langsung saksi-saksi, calon orangtua angkat, orangtua kandung, badan atau yayasan sosial yang telah mendapat izin dari pemerintah di sini yaitu Departemen Sosial, seorang petugas/pejabat instansi sosial setempat, calon anak angkat (jika dia sudah bisa diajak bicara), dan pihak kepolisian setempat (Polri).

Tahap kedua: Pengadilan memeriksa bukti-bukti berupa surat-surat resmi, akte kelahiran/akte kenal lahir yang di tandatangani Wali Kota atau Bupati setempat, surat resmi pejabat lain, akte notaris dan surat-surat di bawah tangan (korespondensi), surat-surat keterangan, pernyataan-pernyataan dan surat keterangan dari kepolisian tentang calon orangtua angkat dan anak angkat.

Sebelum dikeluarkan penetapan sebagai jawaban dari permohonan adopsi, pengadilan memeriksa dalam persidangan tentang latar belakang motif kedua belah pihak (pihak yang melepas dan pihak yang menerima anak angkat).

Tahap akhir berupa penjelasan hakim tentang akibat hukum yang ditimbulkan setelah melepas dan mengangkat calon anak angkat. Sebelum memberikan penetapan hakim memeriksa keadaan ekonomi, kerukunan, keserasian kehidupan keluarga, serta cara mendidik orangtua angkat.


 Dengan mengadopsi anak secara legal melalui prosedur pengadilan, maka hak dan kewajiban orangtua angkat serta anak yang diadopsi pun menjadi seimbang. Menyangkut legalitas ini perlu diperhatikan berbagai pihak termasuk Kementerian yang terkait (Kemensos , Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan KPAI) agar mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang lainnya setelah kasus Angeline ini.

 Semoga bermanfaat bagi kita semua.

*Rest in Peace Angeline  <3


Selengkapnya dapat dilihat Link berikut :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl107/anak-angkat,-prosedur-dan-hak-warisnya

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5407095f1255e/adopsi-ilegal,-termasuk-ranah-pidana-atau-perdata?

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50877107ba949/hak-waris-anak-adopsi-menurut-hukum-barat-dan-hukum-islam

Rabu, 13 Agustus 2014

The Lady of Justice History


Her Name - Lady Justice was originally known as the goddess Themis. In Greek Themis means ‘order’. Her other interchangeable names are Justicia or Justice. She is also associated with the goddesses Astraea, Dike, Eirene, Eunomia, Fortuna, Tyche, and Ma’at.

Her Importance - Today our laws and law systems are derived in essence from her stories and ideals. She
began in Greek mythology about 800 B.C. as one of the Titan gods. Each god held the power of law and Themis was goddess of ‘the order of the natural world’. That means she ordered and organized things like the seasons; i.e., winter follows summer follows spring (…no Fall in Greek mythology). She also planned and ordered the path of a person’s life such as its beginning and end. Importantly she ordered and arranged what was to happen during each season for both nature and man. It followed that Caesars, Kings, aristocracy and ordinary people sought her advice and council on all the laws of nature as well as the laws of man’s concerns. There was such advice and counsel on mans trepidations like farming, war, love, work and marriage.

Her Uniqueness - Interestingly in a traditional male dominated ancient world she was a predominant and coveted authority of prophecy, advice and law. She is credited as being the first counselor and the first oracle at Delphi, even before Apollo. In her time she was the final decision maker on the laws of man and nature. Her popularity influenced and was mixed into other myths and gods. Around 22 A.D. she first appeared on Roman coins as the Roman goddess Justitia, ‘Justice’. She had become a blend of Greek and Roman stories. She also borrowed select traits and accessories of other goddesses such as Dike and Fortuna amongst others. Additionally every period and people has added their changes to Lady Justice even as gods and goddess had declined with the rise of Christianity.

HER APPEARANCE - For an artist to study there are few visual representations of Themis from ancient times before Christianity. However, Themis’ sister or half sister depending on what school you research is Aphrodite. There are numerous representations of the ancient Aphrodite in both sculpture and painting. Appropriately Themis should look similar to her (half?) sister Aphrodite as creatively expressed by the sculptors and artists of the time of her popularity.

HER ART FORM - The classical figurative portrayal of goddesses by both the Greek and Romans of ancient time through the Renaissance has been bare or barely draped which was a sign of virtue, or good or justice. The Themis/Lady Justice of sculptor Gilbert E. Barrera is a created as a Greco-Roman version of the original manifestation of the earliest Aphrodite (i.e., the Knidos Aphrodite). Barreras’ version of the original virtuous bronze shape is in composition with the styles of the Greek sculptors of antiquity, (i.e., Polykleitean ‘contropasto’ and Praxitelean ‘S-Curve’). Across Europe this is a timehonored composition since Hellenistic times and in San Antonio she will be one of the first of her kind for public appreciation. She is approximately 4 feet in height and weighs about 200 lbs. For accessories she was fashioned in concert with the Roman symbols of Justicia. She has – a simple blindfold, - balance scales of a design of that day and - a common soldiers sword of the period; plus two added imaginative art symbols, the circle (or sphere) represented by the earths’ globe and lastly the curvilinear line as a wind spirited ‘ribbon’ representing the sky or heavens.

HER SCULPTURAL STYLE - Contropasto is the counterpoise of the human figure. In 360B.C. the Greek sculptor Polykleitus mastered it. Here Barrera’s Themis has one foot (leg) with more weight or tension and one relaxed – showing shift of balance of weight; and Themis’ back and arms twist to one side of her hips and leg positions – showing naturalness of stress-free posture. In composition it creates a more vibrant yet relaxed appearance. Presented on the earths’ globe the implication here is there will be a change or adjustment of posture into motion. On a turning world she offers the appearance of preparedness to adapt her stance and weight. Additionally, fitting to the period of Themis is the sinuous S‐curve developed by the leading sculptor of that period Praxiteles. Literally it is the form of the “S” shape from the top of the figure to the bottom. That style of posture is gracefully revealed in the Themis of sculptor Barrera. Beginning at the top of the bun of her hair around her face curving back behind her shoulder then fast down her relaxed leg and
again curving around the earths’ circle.

THE HAIRSTYLE - of Themis is classic Praxiteles as exhibited by his most famous Aphrodite of Knidos. It is done in a braided bun with two bands holding the hairstyle close to the head. The figure is natural without covering. For the artists composition it is intended to also be symbolic of not hiding the processes of justice. Research at this time has indicated no other Lady Justice around the world presents Themis in this striking compositional design.

HER SYMBOLS -  The Themis of sculptor Barrera is graced with 5 key features. The blindfold, sword and scales are the classic devices. Here they are gilded in gold to accent them as the established symbols of Lady Justice. There are two artist added creations: a ribbon and the earth. Below is a short description of the main accessories.

THE SCALES … represent that Lady Justice carefully weighs the claims of each side. They are referred as the ‘scales of justice’. Each scale presents a measure of evidence. Therein each scale or dish also has inscribed symbols. On the top side of one dish, a dove represents good claims; on the bottom side of that dish is a Gemini symbol representing the witnesses, claims of “he said, she said”; on the top side of the other scale a snake represents bad claims; on its bottom side is the symbol of a linen scroll page which represents written laws or facts; and next to the scroll symbol is a knife, to represent weapons or instruments used in the claim. The design of the scales of justice and designs on the dish scales are researched from pre-Christianity and can be found both on the ancient red vase paintings and in sculpted stone reliefs of the time Themis was in vogue.

THE SWORD … represents the enforcement measures of Lady Justice. It means Themis stands ready to obligate faithfulness to her decision of reason and justice by both parties. Here Barrera’s Justicia holds a sword that is oversized to her body proportion as the swords’ size symbolizes a very important facet of justice, respect. In Barrera’s composition the sword is barely held by Themis’ right hand but is very closely
positioned to her body. Thus she does not reign by fisted threat or fear of use of a weapon but instead she rules and openly exhibits she is prepared to get respect. The design of the Barrera sword is period appropriate (700 to 300 B.C) to the time of Themis and is known as a hoplite sword, commonly used by the Greek citizen soldier.

THE BLINDFOLD … today probably her most famous symbol - it first appeared in the fifteenth century. The blindfold represents decisions of objectivity and/or impartial decision or decision not influenced by wealth, politics, popularity or infamy etc. Here the composition of sculptor Barrera offers the blindfold with a slight space under the eyes where it could be implied that Justice may have peeked and not been impartial.
This device is merely an insight for humor to match post rulings conversations of alleged unfavorable outcomes or unhappy experiences.

HER PARENTS SYMBOLS - The final two symbols are heaven and earth – or the sky as a ribbon and the globe of planet earth. These are artistic additions of sculptor Barrera and are multifaceted. They are intended to artistically tie the form to its environment; to tie the sculpture and fountain to San Antonio’s own family composition; and to reveal more of the marvelous family story in the mythology of the Greeks. Thus Themis is sculpted with her symbolic mother and father as a family unit. In some philosophies the sky is the mind and the earth is the body; and the systems of reason, order and laws are in between. Greek symbolism can be multifaceted and speculative.

THE EARTH … in art represents forms like a circle, sphere, ball or globe which are fundamental elements of art and here it is used to harmoniously base the figure to the fountain; and in Greek mythology the earth represents Gaia, (In Greek the word ‘ga’ means land or earth) (a.k.a., mother earth, or earth goddess] from which all entities were born.). Gaia is the mother of Themis. In Roman versions Gaia is known as Terra.

THE SKY … the ribbon in art is a line or curvilinear form, also a basic element of art composition and here represents the heavens or the Sky. In some versions of Greek mythology Gaia (earth) gave birth to the sky known as Uranus or ‘Ouranos’. Ouranos is the mythological father of Themis and is god of the heavens, god of the sky, the sky god. The ‘Ouranos’ with an ‘O’ spelling is more often seen in the Greek usage, it is also
known as Uranus. Gaia took Ouranos as her husband. They had the 8 Titans of which Themis was one of 4 daughters. The ribbon is designed to be moving or changing in the wind as the law and decisions she gives are according to the changing facts and issues.

HER CHILDREN SYMBOLS -  Of family interest also are the three figures that are on the base pedestal of the cast iron fountain. They are the Seasons; the goddesses of spring, summer and winter, and are all the daughters of Themis. Their names are Eunomie, Eirene, and Dike and they were known as the Horae. They are all part of her natural order or natural laws, plans and systems to the world, i.e. she ordered the seasons and thereby also gave man his order of work, i.e., in the winter he plants, in the spring he waters his blooms, and in the summer he harvests. There was also a second set of goddesses called Horae who ruled over the hours of the day and what man did at those hours. In some versions her third generation of children were the Morai: Klotho - the spinner of life, Lacheses - the measurer of life and Atropos - the taker of life.

Jumat, 08 Agustus 2014

Hukum Kesusastraan (Law and Poem)



SUARAKU, SUARAMU ?

Oleh : Yuni Ratnasari

Satu suara berarti sekali
Sekali untuk satu hari
Satu hari itupun diselewengkan
Penyelewengannya pun beragam

Ada dengan cap cip cup
Ada dengan uang panas
Apa masih berarti suaramu?
Apa hanya sekadar tersalurkan ?

Wahai rakyat, tahukah kau arti demokrasi
Demokrasi apa yang ingin kau wujudkan
Bukan hanya suaramu yang kami butuhkan
Tapi tindakan cerdasmu yang membenahi bumi pertiwi

Kita rakyat yang tidak mudah dibodohi
Dengan berbagai bentuk apapun itu kita disuapi
Justru kita rakyat yang pintar

Yang dapat menentukan nasib bangsa kedepan
Ayolah Indonesia, marilah berbenah diri


PANTUN

Oleh : Luh Putu Budiarti

Beruang naik kapal
Kapalnya hancur dimakan karat
Pilih pemimpin jangan asal
Pilih yang jujur juga merakyat

Mencari kupu-kupu di dalam taman
Kupu-kupu didapat dihalaman
Carilah pemimpin yang mempunyai pengalaman
Agar rakyat hidup sejahtera dan aman

Special Protective Measures bagi Justice Collaborators dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi


Special Protective Measures bagi Justice Collaborators dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi (Komparasi Good Practices for the Protection of Witnessess in Criminal Proceedings involving Organized Crime terhadap UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)

Suatu Gambaran Awal

Peliknya pembuktian kejahatan-kejahatan yang bermotif white-collar crime pada ensiklopedi penegakan hukum di Indonesia tak jarang memerlukan keberadaan saksi-saksi kunci dalam memberikan keterangan dalam persidangan. Sebagai komparasi, keberadaan affidavit  dalam sistem pembuktian tindak pidana dalam sistem  jury pada sistem hukum Anglo-Saxon menempati posisi yang sangat krusial.

Kemunculan berbagai kasus-kasus tindak pidana korupsi yang mencuat hangat di media, (contoh: Kasus Korupsi Wisma Atlet yang melibatkan M. Nazaruddin dan Rossa Manulang) menunjukkan betapa pentingnya kepastian perlindungan saksi dalam penyampaian keterangan. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Antonio Maria Costa, Chief Executive Director of United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Ia mengungkapkan, “Witnesses need to have the confidence to come forward to assist law enforcement and prosecutorial authorities. They need to be assured that they will receive support and protection from intimidation and the harm that criminal groups may seek to inflict upon them in attempts to discourage or punish them from cooperating.”

Justifikasi Perlindungan

Keberadaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU Perlindungan Saksi dan Korban) telah menjadi suatu paying hukum dan hembusan angin segar bagi ensiklopedi penegakan hukum di Indonesia dalam mengungkap berbagai kasus korupsi yang marak di negara ini. Jika dibandingkan dengan keberadaannya di Amerika Serikat, mekanisme di Indonesia tergolong lambat karena Negeri Paman Sam pada tahun 1970 melalui Organized Crime Control Act telah melaksanakan Witness Security (WITSEC) Program.

Melihat jarak dan perbedaan mekanisme pelaksanaan, penulis memandang perlu untuk melakukan analisis terhadap substansi normatif UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Good Practices dari UNODC. Mengutip pendapat Jessywn Yogaratnam, aktivis perlindungan asylum seeker di Australia, “It is the duty of the young lawyer to not only oblige the law, but also to challenge the current definition, to assure the coherence from the spirit commanded in the international documents to each national legal instruments”

Permasalahan (A Comparative Approach)

UU Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan gambaran awal dalam hal perlindungan saksi maupun korban. Akan tetapi tidak pada kasus korupsi yang bersifat organized crime, terlebih memerlukan peranan justice collaborators.

Dalam Good Practices of Protection of Witnesses oleh UNODC, justice collaborators  diklasifikasikan ke dalam golongan saksi dan didefinisikan sebagai A person who has taken part in an offence connected with a criminal organization possesses important knowledge about the organization’s structure, method of operation, activities and links with other local or foreign groups. An increasing number of countries have introduced legislation or policies to facilitate cooperation by such people in the investigation of cases involving organized crime”

Fenomena ini kerap terjadi dalam proses pengadilan tindak pidana korupsi, sebagai contoh keterlibatan Rossa Manulang dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Apabila ditinjau dari substansi Pasal 5 tentang Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, yang memuat :

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.

Akan tetapi pada prakteknya, kerap kali justice collaborators merupakan pihak yang terkait dalam rangakaian organized crime. Sehingga, terdapat kekurangan substansial dari UU Perlindungan Saksi dan Korban yang mem-foresee kemungkinan saksi yang ada, terlebih justice collaborator.

Menurut Good Practices of Protection of Witnesses oleh UNODC, selayaknya terdapat special measures untuk melindungi justice collaborators bilamana tidak mendapatkan suatu immunity karena keterlibatannya dalam organized crime, dengan mempertimbangkan kesaksiannya pada persidangan seperti:
(a) Separation from the general prison population (penjara yang terpisah);
(b) Use of a different name for the prisoner-witness (identitas yang berbeda selama masa tahanan di penjara);
(c) Special transportation arrangements for in-court testimony (transportasi khusus selama perjalanan menuju pengadilan);
(d) Isolation in separate detention units at the prison or even in special prisons (isolasi pada unit detensi khusus).


Silver Linings

Dilihat dari segi perlindungan justice collaborators,  terdapat kekurangan kepastian perlindungan hak atas rasa aman jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Sehingga special measures, dipandang perlu dalam kaitan pemenuhan hak justice collaborators atas rasa aman. Pandangan ini selayaknya mulai diejawantahkan dalam berbagai legal instruments, sehingga akan menimbulkan kepastian akan rasa aman, dan niscaya semakin memunculkan justice collaborators lainnya dengan kesaksian-kesaksian yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menguak tabir korupsi di Indonesia.

Aliran - Aliran dalam Filsafat Hukum



Aliran-aliran dalam Filsafat Hukum :
·         Hukum Alam
Hukum alam yang disebut sebagai mazhab hukum alam ialah hukum yang berlaku universal dan abadi. Sumber hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan yang bersumber dari akal (rasio) manusia. Pemikiran hukum alam berkembang dari masa ke masa. Sejarah hukum alam pertama dikemukakan pada zaman Yunani Kuno yang masih primitif pada abad ke-5 sebelum Masehi, oleh Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa petunjuk bagi dibentuknya suatu tata hukum yang membawa orang-orang menuju kesempurnaan yaitu peraturan-peraturan yang berlaku. Sedangkan Aristoteles mengatakan hukum alam merupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena kaitannya dengan alam. Hukum alam berkembang pula di zaman Romawi, salah satu tokohnya yaitu Cicero, seorang yuris dan negarawan. Cicero mengemukakan tentang konsepnya a true law yang disesuaikan dengan right season. Pada kesempatan lain, Cicero juga berpendapat kita lahir untuk keadilan, dan hukum tidaklah didasarkan pada sebuah opini.
·         Hukum Kodrat
Aliran hukum kodrat atau natural law thought adalah merupakan salah satu substansi perkembangan filsafat hukum dari hukum alam. Berawal dari masa Yunani kuno yang dkritisi oleh Cicero, dengan Thomas Aquinas sebagai penganalisis dan dibantu kalangan rohaniawan Gereja Katolik. Menurut Thomas Aquinas hukum dapat dibagi ke dalam empat golongan yaitu:
1)    Lex Aeterna (Rasio Tuhan sumber dari segala hukum)
2)    Lex Divina (Rasio/Wahyu Tuhan yang ditangkap oleh manusia)
3)    Lex Naturalis (Hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan)
4)    Lex Positivis (Hukum yang dibuat oleh manusia)
Aliran hukum kodrat di dalam dunia Kristiani diadopsi oleh pemikir utama yaitu St. Agustinus yang menjelaskan bahwa Metafisika merupakan ilmu pertama, karena itu filsafat merupakan hamba dari teologi. Tuhan mempunyai rencana yang dituangkan dalam hukumnya yang abadi. Dan rencana abadi Tuhan tersebut juga  dalam jiwa manusia sehingga manusia mampu untuk memahaminya sebagai hukum kodrat. Prinsip tertinggi dalam hukum kodrat ini adalah “jangan berbuat pada orang lain apa yang tidak ingin orang lain berbuat padamu” , Ne allguid faciat quisque alteri, quod pati ipse non vult. Yang menjelaskan bahwa hukum yang dibuat manusia harus bermoral karena hukum yang tidak adil adalah bukan hukum karena tidak bermoral. Terkenal dengan ultra ecclesiam nulla salus yaitu moralitas disamakan dengan hukum agama sehingga diluar itu (Gereja) tidak ada keselamatan (kebenaran) dimana hakikat hukum merupakan moralitas yang kekal dan abadi.
·         Hukum Positivisme
Aliran hukum positivisme menurut tokohnya yaitu Hans Kelsen adalah merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil. Selain itu juga, dapat dikatakan aliran hukum positif merupakan kebalikan dari hukum alam. Sebab aliran ini mengidentikkan hukum sebagai undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. John Austin yang juga penganut teori ini memberikan pengertian bahwa Hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk berakal yang berkuasa diatasnya. Pendapat tersebut dikembangkan oleh George Jellinek dan Rudolf von Jhering yang berpendapat bahwa Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan hak untuk memaksa tersebut adalah monopoli mutlak negara.
·         Hukum Sejarah dan Kebudayaan
Pendiri aliran ini adalah Friedrich Carl von Savigny dan Puchta. Lahirnya aliran ini dipengaruhi oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’espirit de Lois yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya dan pengaruh paham nasionalisme. Setelah itu Friedrich Carl von Savigny menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari jiwa rakyat, hukum tumbuh dan kuat bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan dari kekuatan rakyat, yang pada akhirnya hukum itu mati ketika bangsa itu hilang kebangsaannya. G. Putcha menamai ajaran gurunya tersebut sebagai Volkgeist (Jiwa bangsa)
·         Aliran Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata utility artinya bermanfaat/berguna. Maka istilah ini pun kemudian ditemukan dalam tujuan hukum yakni “kemanfaatan”. Maka tujuan hukum disamping keadilan dalam pencapaian tujuan filsufisnya, adalah juga harus bermanfaat, sebagaimana yang diharapkan oleh Jeremey Bentham dalam bukunya “The Gretest Happiness of the Greates Number.” Maksud dari Bentham mengemukakan ide tersebut tidak lain memandang bahwa ukuran baik-buruk suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mengandung kebahagiaan atau tidak. Sebagai salah ilustrasi yang ditawarkan Bentham suatu pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan betapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Pendapat yang hampir sama dengan Bentham adalah John Stuart Mill (1806-1873), namun Mill malah memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan sebagai salah satu sumber kesadaran keadilan tidak hanya terletak pada asas ‘kemanfaatan” semata, melainkan rangsangan dalam rangka mempertahankan diri dan perasaan simpati.
·         Sociological Jurisprudence
Aliran ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pemikiran ini berkembang di Indonesia dan Amerika. Aliran ini berbeda dengan aliran sosiologi hukum yang berkembang di Eropa Kontinental. Sociological Jurisprudence mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan sosiologi hukum mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum. Dalam aliran Sociological Jurisprudence mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam masyarakat). Aliran ini juga sangat bertentangan dengan alirah hukum positif yang menekankan hukum dengan undang-undang saja tanpa meninjau hukum dalam masyarakat. Tokoh-tokoh yang menganut aliran ini adalah Roescoe Pound ,Eugen Erlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich,dan lainnya.
·         Realisme Hukum
Aliran realisme hukum merupakan satu sub aliran dari positivisme yang dipelopori oleh Karl Liewellyn dan Roscoe Pound. Menurut pandangan penganut teori ini, hak dipandang sebagai produk akhir proses interaksi, dan mencerminkan nilai moral masyarakat yang berlaku pada segala waktu tertentu. Roscoe Pound membuat rumusan untuk pengesahan, keinginan manusia, tuntutan manusia serta kepentingan sosial melalui rekayasa sosial, namun ia tidak mengidentifikasikan  mekanisme atau metode yang dapat memperioritaskan hak-hak individu, baik dalam kaitan dengan hak-hak itu satu sama lain maupun dalam hubungan dengan sasaran masyarakat. Demikian juga dengan Myres McDougal. Ia mengambangkan suatu pendekatan terhadap hak asasi manusia yang sarat nilai  dan berorientasi pada kebijakan, berdasarkan pada “nilai luhur” perlindungan terhadap martabat manusia. Menurut McDougal, tuntutan pemenuhan hak asasi manusia itu berasal dari pertukaran nilai-nilai  internasional yang luas dasarnya. Nilai-nilai ini dimanifestasikan oleh tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial, seperti rasa hormat, kekuasaan, pencerahan, kesejahteraan, kesehatan, keterampilan, kasih sayang dan kejujuran. Semua nilai ini bersama-sama mendukung dan disahkan.
·         Realisme Pragmatis
Aliran ini adalah pengembangan dari aliran realisme hukum yang lebih pragmatis. Tokoh-tokoh pelopor aliran ini adalah Jhon Chipman, Karl Llwellyn, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, dan lainnya. Menurut Llwellyn, realisme hukum bukanlah merupakan suatu aliran didalam filsafat hukum, melainkan sebagai suatu gerakkan dalam cara berpikir tentang hukum. Berdasarkan pendapat Llwellyn, Oliver Wendel Holmes berpendapat bahwa hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan. Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual para hakim. Realisme hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)    Realisme bukanlah suatun aliran/madzhab, melainkan suatu gerakkan dalam berpikir.
2)    Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial.
3)    Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein.
4)    Realisme tidak mendasarkan pada konsep hukum tradisional.
5)    Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum.
·         Critical Legal Study
Sejak berakhirnya era hukum modern. Perkembangan pemikiran dalam aliran ilmu hukum dianggap mencapai puncaknya setelah realisme hukum melakukan banyak observasi terhadap kaidah-kaidah sosial yang menjadi perhatian dalam struktur masyarakat. Realisme hukum menganggap dirinya sebagai “gerakan” bukan aliran, karena banyak melakukan studi untuk mendekatkan hukum dan masyarakat, maka dalam critical legal study, “gerakan” dipoles lebih sempurna melalui cara pandang critical legal study agar tidak memandang hukum, perundang-undangan sebagai sesuatu hal yang sempurna (perfect). Sehingga critical legal study sebagai gerakan lebih pantas juga disebut critical legal movement. Berangkat dari pemikiran dan gejolak sosial, critical legal study dipengaruhi oleh tiga pilar: 
1)    Ajaran kiri baru mazhab Frankfurt
2)    Ajaran postmodern
3)    Ajaran realisme hukum.
Ajaran yang ditegaskan melalui criticical legal study didominasi oleh krtik terhadap metanarasi-metanarasi yang mengagungkan objektivisme, formalisme dan positivisme.
Oleh karena aliran critical legal study dipengaruhi oleh ajaran kiri, maka aliran ini melakukan studi terhadap ketidakpercayaan aturan, perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Legislatif merancang undang-undang dipengaruhi oleh dua kepentingan antara relasi kuasa dan pasar (ekonomi). Dalam perundang-undangan kemudian sengaja diciptakan bahasa perundang-undangan yang “bias”, dan  dapat ditafsirkan berdasarkan kepentingan penguasa. Hakim menafsirkan pasal-pasal berdasarkan kehendaknya sendiri. Karena bagi critical legal study, seorang hakim sulit dilepaskan dari pengaruh dan gejala politik  serta psychologys ketika menjatuhkan putusan dalam perkara di pengadilan. Dua hal yang ditekankan oleh teori hukum kritis adalah:
1)    Teori hukum kritis (critical legal study) mendeskripsikan perbedaan, memperlihatkan relasi antara sebuah wacana konstitusi yang lain maupun wacana umum lainnya.
2)    Teori hukum kritis menaruh minat pada sebuah wacana konstitusi apa yang mendominasi, menguatkan, dan menyatukan wacana-wacana (hukum) lainnya.
·         Feminisme Jurisprudence
Salah satu subkultur dalam masyarakat adalah subkultur feminisme. Mereka adalah kaum feminis yang mengorganisir gerakan untuk menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki. Pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Dalam perkembangannya, paham yang diusung kaum feminis berkembang menjadi beberapa varian yang kemudian membagi feminisme ke dalam beberapa aliran. Feminisme dalam pemikiran hukum, terutama yang berkembang di Amerika pada 1960-1970, feminisme mendapatkan tempatnya dalam Feminist Legal Theory (FLT) yang dipayungi oleh Critical Legal Studies. FLT kemudian memunculkan metode analisis khas feminis dalam hukum untuk menganalisis masalah-masalah—terutama dalam aturan hukum dan pelaksanaannya—yang berkaitan dengan perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, aborsi dan lain-lain. Untuk menganalisis praktek hukum oleh pengadilan dan pengacara, Katherine T. Bartlet memperkenalkan metode pengkajian hukum khas FLT yaitu menanyakan pertanyaan-pertanyaan perempuan (asking woman question), metode penalaran secara feminis (feminist practical reasoning) dan membangkitkan kesadaran (consciousness-raising). Penalaran hukum feminis menolak adanya ‘komunitas monolitik’ yang sering ada dalam penalaran laki-laki, dan mengidentifikasi perspektif yang tidak terwakili dalam budaya dominan di mana penalaran itu harus dihasilkan. Dengan demikian dalam melakukan penalaran hukum untuk mencapai suatu simpulan tertentu, feminis akan mempertimbangkan hal-hal yang tidak universal, tidak general, namun lebih mencerminkan perempuan sebagai bagian yang memang memiliki kebutuhan dan kekhasan tertentu sebagai titik tolak penalarannya.
·         Semiotika Jurisprudence
Terminologi semiotika atau semiologi berasal dari kata Yunani, “semeion” berarti tanda/simbol, karena secara sederhana semiotika sering disebut sebagai “study of sign” (suatu pengkajian tanda-tanda), yang oleh Kris Budiman dan Scholes dijelaskan sebagai studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Sedangkan Saussure menyebutnya sebagai ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Dengan mendasarkan pada pandangan dari Charles Moris, yaitu seorang filsuf yang menaruh perhatian atas ilmu tentang-tanda-tanda, semiotika pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquery), yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
1)    Sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara suatu tanda dengan tanda yang lain.
2)    Semantik, yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan degsinata atau objek-objek yang diacunya.
3)    Pragmatik, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari  hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter atau para pemakainya-pemaknaan tanda-tanda.

Berkaitan dengan pengertian semiotika diatas, maka pengertian semiotika hukum adalah teori dan analisis berbagai tanda (simbolic) dan pemaknaan (signification) di dalamnya serta tata cara penggunaannya dalam kehidupan manusia. Pengertian tersebut sama dengan pengertian hukum sebagai simbol yang didalamnya ada nilai-nilai sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, dan tindakan secara arbriter, konvensional, representatif, interpretatif baik makna yang batiniah maupun yang lahiriah yang dilambangkan atau diwakili simbol. Dragan Milovanovic, seorang sosiolog hukum mencoba mengeluarkan koordinat bahasa hukum dari dominasi wacana dogmatis. Semiotika hukum model ini kemudian dikembangkan oleh aliran-aliran pemikiran hukum kritis yang bercita-cita agar hukum dimunculkan maknanya sebagai sesuatu yang adil dan manusiawi.
Selamat datang di blog Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Bali, Terima kasih telah berkunjung di blog kami..