Aliran-aliran
dalam Filsafat Hukum :
·
Hukum Alam
Hukum alam
yang disebut sebagai mazhab hukum alam ialah hukum yang berlaku universal dan
abadi. Sumber hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan yang
bersumber dari akal (rasio) manusia. Pemikiran hukum alam berkembang dari masa
ke masa. Sejarah hukum alam pertama dikemukakan pada zaman Yunani Kuno yang
masih primitif pada abad ke-5 sebelum Masehi, oleh Plato dan Aristoteles. Plato
berpendapat bahwa petunjuk bagi dibentuknya suatu tata hukum yang membawa
orang-orang menuju kesempurnaan yaitu peraturan-peraturan yang berlaku.
Sedangkan Aristoteles mengatakan hukum alam merupakan suatu hukum yang selalu
berlaku dan tidak pernah berubah karena kaitannya dengan alam. Hukum alam
berkembang pula di zaman Romawi, salah satu tokohnya yaitu Cicero, seorang
yuris dan negarawan. Cicero mengemukakan tentang konsepnya a true law yang disesuaikan dengan right season. Pada kesempatan lain, Cicero juga berpendapat kita
lahir untuk keadilan, dan hukum tidaklah didasarkan pada sebuah opini.
·
Hukum Kodrat
Aliran
hukum kodrat atau natural law thought
adalah merupakan salah satu substansi perkembangan filsafat hukum dari hukum
alam. Berawal dari masa Yunani kuno yang dkritisi oleh Cicero, dengan Thomas
Aquinas sebagai penganalisis dan dibantu kalangan rohaniawan Gereja Katolik.
Menurut Thomas Aquinas hukum dapat dibagi ke dalam empat golongan yaitu:
1) Lex Aeterna (Rasio Tuhan sumber dari segala hukum)
2) Lex Divina (Rasio/Wahyu Tuhan yang ditangkap oleh manusia)
3) Lex Naturalis (Hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan)
4) Lex Positivis (Hukum yang dibuat oleh manusia)
Aliran hukum
kodrat di dalam dunia Kristiani diadopsi oleh pemikir utama yaitu St. Agustinus
yang menjelaskan bahwa Metafisika merupakan ilmu pertama, karena itu filsafat
merupakan hamba dari teologi. Tuhan mempunyai rencana yang dituangkan dalam
hukumnya yang abadi. Dan rencana abadi Tuhan tersebut juga dalam jiwa manusia sehingga manusia mampu
untuk memahaminya sebagai hukum kodrat. Prinsip tertinggi dalam hukum kodrat
ini adalah “jangan berbuat pada orang lain apa yang tidak ingin orang lain
berbuat padamu” , Ne allguid faciat
quisque alteri, quod pati ipse non vult. Yang menjelaskan bahwa hukum yang
dibuat manusia harus bermoral karena hukum yang tidak adil adalah bukan hukum
karena tidak bermoral. Terkenal dengan ultra
ecclesiam nulla salus yaitu moralitas
disamakan dengan hukum agama sehingga diluar itu (Gereja) tidak ada keselamatan
(kebenaran) dimana hakikat hukum merupakan moralitas yang kekal dan abadi.
·
Hukum Positivisme
Aliran
hukum positivisme menurut tokohnya yaitu Hans Kelsen adalah merupakan suatu
teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu,
yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil. Selain itu
juga, dapat dikatakan aliran hukum positif merupakan kebalikan dari hukum alam.
Sebab aliran ini mengidentikkan hukum sebagai undang-undang. Satu-satunya
sumber hukum adalah undang-undang. John Austin yang juga penganut teori ini
memberikan pengertian bahwa Hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi
bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk berakal yang berkuasa
diatasnya. Pendapat tersebut dikembangkan oleh George Jellinek dan Rudolf von
Jhering yang berpendapat bahwa Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan yang
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan hak
untuk memaksa tersebut adalah monopoli mutlak negara.
·
Hukum Sejarah dan
Kebudayaan
Pendiri
aliran ini adalah Friedrich Carl von Savigny dan Puchta. Lahirnya aliran ini
dipengaruhi oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’espirit de Lois yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya
hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya dan pengaruh paham
nasionalisme. Setelah itu Friedrich Carl von Savigny menyatakan bahwa hukum
merupakan pencerminan dari jiwa rakyat, hukum tumbuh dan kuat bersama-sama
dengan pertumbuhan rakyat dan dari kekuatan rakyat, yang pada akhirnya hukum
itu mati ketika bangsa itu hilang kebangsaannya. G. Putcha menamai ajaran
gurunya tersebut sebagai Volkgeist (Jiwa
bangsa)
·
Aliran Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal
dari kata utility artinya bermanfaat/berguna.
Maka istilah ini pun kemudian ditemukan dalam tujuan hukum yakni “kemanfaatan”.
Maka tujuan hukum disamping keadilan dalam pencapaian tujuan filsufisnya,
adalah juga harus bermanfaat, sebagaimana yang diharapkan oleh Jeremey Bentham
dalam bukunya “The Gretest Happiness of the Greates Number.” Maksud dari
Bentham mengemukakan ide tersebut tidak lain memandang bahwa ukuran baik-buruk
suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mengandung kebahagiaan
atau tidak. Sebagai salah ilustrasi yang ditawarkan Bentham suatu pemidanaan
harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan betapa kerasnya pidana itu
tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya
penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan
harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Pendapat yang hampir sama
dengan Bentham adalah John Stuart Mill (1806-1873), namun Mill malah
memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan sebagai salah satu sumber
kesadaran keadilan tidak hanya terletak pada asas ‘kemanfaatan” semata,
melainkan rangsangan dalam rangka mempertahankan diri dan perasaan simpati.
·
Sociological
Jurisprudence
Aliran ini menganggap bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Pemikiran ini berkembang di Indonesia dan Amerika. Aliran ini
berbeda dengan aliran sosiologi hukum yang berkembang di Eropa Kontinental. Sociological Jurisprudence mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan sosiologi hukum
mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum. Dalam aliran Sociological Jurisprudence mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam
masyarakat). Aliran ini juga sangat bertentangan dengan alirah hukum positif
yang menekankan hukum dengan undang-undang saja tanpa meninjau hukum dalam
masyarakat. Tokoh-tokoh yang menganut aliran ini adalah Roescoe Pound ,Eugen
Erlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich,dan lainnya.
·
Realisme Hukum
Aliran realisme hukum
merupakan satu sub aliran dari positivisme yang dipelopori oleh Karl Liewellyn
dan Roscoe Pound. Menurut pandangan penganut teori ini, hak dipandang sebagai
produk akhir proses interaksi, dan mencerminkan nilai moral masyarakat yang
berlaku pada segala waktu tertentu. Roscoe Pound membuat rumusan untuk
pengesahan, keinginan manusia, tuntutan manusia serta kepentingan sosial
melalui rekayasa sosial, namun ia tidak mengidentifikasikan mekanisme atau metode yang dapat
memperioritaskan hak-hak individu, baik dalam kaitan dengan hak-hak itu satu
sama lain maupun dalam hubungan dengan sasaran masyarakat. Demikian juga dengan
Myres McDougal. Ia mengambangkan suatu pendekatan terhadap hak asasi manusia
yang sarat nilai dan berorientasi pada
kebijakan, berdasarkan pada “nilai luhur” perlindungan terhadap martabat
manusia. Menurut McDougal, tuntutan pemenuhan hak asasi manusia itu berasal
dari pertukaran nilai-nilai
internasional yang luas dasarnya. Nilai-nilai ini dimanifestasikan oleh
tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial, seperti
rasa hormat, kekuasaan, pencerahan, kesejahteraan, kesehatan, keterampilan,
kasih sayang dan kejujuran. Semua nilai ini bersama-sama mendukung dan disahkan.
·
Realisme Pragmatis
Aliran ini adalah
pengembangan dari aliran realisme hukum yang lebih pragmatis. Tokoh-tokoh
pelopor aliran ini adalah Jhon Chipman, Karl Llwellyn, Oliver Wendel Holmes,
Jerome Frank, dan lainnya. Menurut Llwellyn, realisme hukum bukanlah merupakan
suatu aliran didalam filsafat hukum, melainkan sebagai suatu gerakkan dalam
cara berpikir tentang hukum. Berdasarkan pendapat Llwellyn, Oliver Wendel
Holmes berpendapat bahwa hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam
kenyataannya oleh pengadilan. Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual
para hakim. Realisme hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Realisme
bukanlah suatun aliran/madzhab, melainkan suatu gerakkan dalam berpikir.
2) Realisme
adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk
mencapai tujuan sosial.
3) Realisme
mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein.
4) Realisme
tidak mendasarkan pada konsep hukum tradisional.
5) Gerakan
realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum.
·
Critical
Legal Study
Sejak berakhirnya era hukum
modern. Perkembangan pemikiran dalam aliran ilmu hukum dianggap mencapai
puncaknya setelah realisme hukum melakukan banyak observasi terhadap
kaidah-kaidah sosial yang menjadi perhatian dalam struktur masyarakat. Realisme
hukum menganggap dirinya sebagai “gerakan” bukan aliran, karena banyak
melakukan studi untuk mendekatkan hukum dan masyarakat, maka dalam critical legal study, “gerakan” dipoles
lebih sempurna melalui cara pandang critical
legal study agar tidak memandang hukum, perundang-undangan sebagai sesuatu
hal yang sempurna (perfect). Sehingga critical
legal study sebagai gerakan lebih pantas juga disebut critical legal movement. Berangkat dari pemikiran dan gejolak
sosial, critical legal study
dipengaruhi oleh tiga pilar:
1) Ajaran
kiri baru mazhab Frankfurt
2) Ajaran
postmodern
3) Ajaran
realisme hukum.
Ajaran
yang ditegaskan melalui criticical legal
study didominasi oleh krtik terhadap metanarasi-metanarasi yang
mengagungkan objektivisme, formalisme dan positivisme.
Oleh karena aliran critical legal study dipengaruhi oleh
ajaran kiri, maka aliran ini melakukan studi terhadap ketidakpercayaan aturan,
perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Legislatif merancang undang-undang
dipengaruhi oleh dua kepentingan antara relasi kuasa dan pasar (ekonomi). Dalam
perundang-undangan kemudian sengaja diciptakan bahasa perundang-undangan yang
“bias”, dan dapat ditafsirkan
berdasarkan kepentingan penguasa. Hakim menafsirkan pasal-pasal berdasarkan
kehendaknya sendiri. Karena bagi critical
legal study, seorang hakim sulit dilepaskan dari pengaruh dan gejala
politik serta psychologys ketika menjatuhkan putusan dalam perkara di pengadilan.
Dua hal yang ditekankan oleh teori hukum kritis adalah:
1) Teori
hukum kritis (critical legal study) mendeskripsikan perbedaan, memperlihatkan
relasi antara sebuah wacana konstitusi yang lain maupun wacana umum lainnya.
2) Teori
hukum kritis menaruh minat pada sebuah wacana konstitusi apa yang mendominasi,
menguatkan, dan menyatukan wacana-wacana (hukum) lainnya.
·
Feminisme
Jurisprudence
Salah satu subkultur dalam
masyarakat adalah subkultur feminisme. Mereka adalah kaum feminis yang
mengorganisir gerakan untuk menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak
dengan laki-laki. Pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Dalam perkembangannya, paham yang
diusung kaum feminis berkembang menjadi beberapa varian yang kemudian membagi
feminisme ke dalam beberapa aliran. Feminisme dalam pemikiran hukum, terutama
yang berkembang di Amerika pada 1960-1970, feminisme mendapatkan tempatnya
dalam Feminist Legal Theory (FLT)
yang dipayungi oleh Critical Legal
Studies. FLT kemudian memunculkan metode analisis khas feminis dalam hukum
untuk menganalisis masalah-masalah—terutama dalam aturan hukum dan
pelaksanaannya—yang berkaitan dengan perkosaan, kekerasan terhadap perempuan,
aborsi dan lain-lain. Untuk menganalisis praktek hukum oleh pengadilan dan
pengacara, Katherine T. Bartlet memperkenalkan metode pengkajian hukum khas FLT
yaitu menanyakan pertanyaan-pertanyaan perempuan (asking woman question),
metode penalaran secara feminis (feminist practical reasoning) dan
membangkitkan kesadaran (consciousness-raising). Penalaran hukum feminis
menolak adanya ‘komunitas monolitik’ yang sering ada dalam penalaran laki-laki,
dan mengidentifikasi perspektif yang tidak terwakili dalam budaya dominan di
mana penalaran itu harus dihasilkan. Dengan demikian dalam melakukan penalaran
hukum untuk mencapai suatu simpulan tertentu, feminis akan mempertimbangkan
hal-hal yang tidak universal, tidak general, namun lebih mencerminkan perempuan
sebagai bagian yang memang memiliki kebutuhan dan kekhasan tertentu sebagai
titik tolak penalarannya.
·
Semiotika Jurisprudence
Terminologi semiotika atau
semiologi berasal dari kata Yunani, “semeion” berarti tanda/simbol, karena
secara sederhana semiotika sering disebut sebagai “study of sign” (suatu pengkajian tanda-tanda), yang oleh Kris
Budiman dan Scholes dijelaskan sebagai studi atas kode-kode, yaitu sistem
apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai
tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Sedangkan Saussure menyebutnya
sebagai ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda
di dalam masyarakat. Dengan mendasarkan pada pandangan dari Charles Moris,
yaitu seorang filsuf yang menaruh perhatian atas ilmu tentang-tanda-tanda, semiotika
pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga cabang penyelidikan (branches of
inquery), yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik, yang dapat dipaparkan
sebagai berikut:
1) Sintaktik
atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan
formal diantara suatu tanda dengan tanda yang lain.
2) Semantik,
yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara
tanda-tanda dengan degsinata atau objek-objek yang diacunya.
3) Pragmatik,
suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan
interpreter atau para pemakainya-pemaknaan tanda-tanda.
Berkaitan
dengan pengertian semiotika diatas, maka pengertian semiotika hukum adalah teori
dan analisis berbagai tanda (simbolic) dan pemaknaan (signification) di dalamnya
serta tata cara penggunaannya dalam kehidupan manusia. Pengertian tersebut sama
dengan pengertian hukum sebagai simbol yang didalamnya ada nilai-nilai sesuatu
yang dapat melambangkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, dan tindakan secara
arbriter, konvensional, representatif, interpretatif baik makna yang batiniah
maupun yang lahiriah yang dilambangkan atau diwakili simbol. Dragan
Milovanovic, seorang sosiolog hukum mencoba mengeluarkan koordinat bahasa hukum
dari dominasi wacana dogmatis. Semiotika hukum model ini kemudian dikembangkan
oleh aliran-aliran pemikiran hukum kritis yang bercita-cita agar hukum
dimunculkan maknanya sebagai sesuatu yang adil dan manusiawi.
0 komentar:
Posting Komentar