Jumat, 08 Agustus 2014

Aliran - Aliran dalam Filsafat Hukum



Aliran-aliran dalam Filsafat Hukum :
·         Hukum Alam
Hukum alam yang disebut sebagai mazhab hukum alam ialah hukum yang berlaku universal dan abadi. Sumber hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan yang bersumber dari akal (rasio) manusia. Pemikiran hukum alam berkembang dari masa ke masa. Sejarah hukum alam pertama dikemukakan pada zaman Yunani Kuno yang masih primitif pada abad ke-5 sebelum Masehi, oleh Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa petunjuk bagi dibentuknya suatu tata hukum yang membawa orang-orang menuju kesempurnaan yaitu peraturan-peraturan yang berlaku. Sedangkan Aristoteles mengatakan hukum alam merupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena kaitannya dengan alam. Hukum alam berkembang pula di zaman Romawi, salah satu tokohnya yaitu Cicero, seorang yuris dan negarawan. Cicero mengemukakan tentang konsepnya a true law yang disesuaikan dengan right season. Pada kesempatan lain, Cicero juga berpendapat kita lahir untuk keadilan, dan hukum tidaklah didasarkan pada sebuah opini.
·         Hukum Kodrat
Aliran hukum kodrat atau natural law thought adalah merupakan salah satu substansi perkembangan filsafat hukum dari hukum alam. Berawal dari masa Yunani kuno yang dkritisi oleh Cicero, dengan Thomas Aquinas sebagai penganalisis dan dibantu kalangan rohaniawan Gereja Katolik. Menurut Thomas Aquinas hukum dapat dibagi ke dalam empat golongan yaitu:
1)    Lex Aeterna (Rasio Tuhan sumber dari segala hukum)
2)    Lex Divina (Rasio/Wahyu Tuhan yang ditangkap oleh manusia)
3)    Lex Naturalis (Hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan)
4)    Lex Positivis (Hukum yang dibuat oleh manusia)
Aliran hukum kodrat di dalam dunia Kristiani diadopsi oleh pemikir utama yaitu St. Agustinus yang menjelaskan bahwa Metafisika merupakan ilmu pertama, karena itu filsafat merupakan hamba dari teologi. Tuhan mempunyai rencana yang dituangkan dalam hukumnya yang abadi. Dan rencana abadi Tuhan tersebut juga  dalam jiwa manusia sehingga manusia mampu untuk memahaminya sebagai hukum kodrat. Prinsip tertinggi dalam hukum kodrat ini adalah “jangan berbuat pada orang lain apa yang tidak ingin orang lain berbuat padamu” , Ne allguid faciat quisque alteri, quod pati ipse non vult. Yang menjelaskan bahwa hukum yang dibuat manusia harus bermoral karena hukum yang tidak adil adalah bukan hukum karena tidak bermoral. Terkenal dengan ultra ecclesiam nulla salus yaitu moralitas disamakan dengan hukum agama sehingga diluar itu (Gereja) tidak ada keselamatan (kebenaran) dimana hakikat hukum merupakan moralitas yang kekal dan abadi.
·         Hukum Positivisme
Aliran hukum positivisme menurut tokohnya yaitu Hans Kelsen adalah merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil. Selain itu juga, dapat dikatakan aliran hukum positif merupakan kebalikan dari hukum alam. Sebab aliran ini mengidentikkan hukum sebagai undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. John Austin yang juga penganut teori ini memberikan pengertian bahwa Hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk berakal yang berkuasa diatasnya. Pendapat tersebut dikembangkan oleh George Jellinek dan Rudolf von Jhering yang berpendapat bahwa Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan hak untuk memaksa tersebut adalah monopoli mutlak negara.
·         Hukum Sejarah dan Kebudayaan
Pendiri aliran ini adalah Friedrich Carl von Savigny dan Puchta. Lahirnya aliran ini dipengaruhi oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’espirit de Lois yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya dan pengaruh paham nasionalisme. Setelah itu Friedrich Carl von Savigny menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari jiwa rakyat, hukum tumbuh dan kuat bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan dari kekuatan rakyat, yang pada akhirnya hukum itu mati ketika bangsa itu hilang kebangsaannya. G. Putcha menamai ajaran gurunya tersebut sebagai Volkgeist (Jiwa bangsa)
·         Aliran Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata utility artinya bermanfaat/berguna. Maka istilah ini pun kemudian ditemukan dalam tujuan hukum yakni “kemanfaatan”. Maka tujuan hukum disamping keadilan dalam pencapaian tujuan filsufisnya, adalah juga harus bermanfaat, sebagaimana yang diharapkan oleh Jeremey Bentham dalam bukunya “The Gretest Happiness of the Greates Number.” Maksud dari Bentham mengemukakan ide tersebut tidak lain memandang bahwa ukuran baik-buruk suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mengandung kebahagiaan atau tidak. Sebagai salah ilustrasi yang ditawarkan Bentham suatu pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan betapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Pendapat yang hampir sama dengan Bentham adalah John Stuart Mill (1806-1873), namun Mill malah memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan sebagai salah satu sumber kesadaran keadilan tidak hanya terletak pada asas ‘kemanfaatan” semata, melainkan rangsangan dalam rangka mempertahankan diri dan perasaan simpati.
·         Sociological Jurisprudence
Aliran ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pemikiran ini berkembang di Indonesia dan Amerika. Aliran ini berbeda dengan aliran sosiologi hukum yang berkembang di Eropa Kontinental. Sociological Jurisprudence mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan sosiologi hukum mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum. Dalam aliran Sociological Jurisprudence mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam masyarakat). Aliran ini juga sangat bertentangan dengan alirah hukum positif yang menekankan hukum dengan undang-undang saja tanpa meninjau hukum dalam masyarakat. Tokoh-tokoh yang menganut aliran ini adalah Roescoe Pound ,Eugen Erlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich,dan lainnya.
·         Realisme Hukum
Aliran realisme hukum merupakan satu sub aliran dari positivisme yang dipelopori oleh Karl Liewellyn dan Roscoe Pound. Menurut pandangan penganut teori ini, hak dipandang sebagai produk akhir proses interaksi, dan mencerminkan nilai moral masyarakat yang berlaku pada segala waktu tertentu. Roscoe Pound membuat rumusan untuk pengesahan, keinginan manusia, tuntutan manusia serta kepentingan sosial melalui rekayasa sosial, namun ia tidak mengidentifikasikan  mekanisme atau metode yang dapat memperioritaskan hak-hak individu, baik dalam kaitan dengan hak-hak itu satu sama lain maupun dalam hubungan dengan sasaran masyarakat. Demikian juga dengan Myres McDougal. Ia mengambangkan suatu pendekatan terhadap hak asasi manusia yang sarat nilai  dan berorientasi pada kebijakan, berdasarkan pada “nilai luhur” perlindungan terhadap martabat manusia. Menurut McDougal, tuntutan pemenuhan hak asasi manusia itu berasal dari pertukaran nilai-nilai  internasional yang luas dasarnya. Nilai-nilai ini dimanifestasikan oleh tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial, seperti rasa hormat, kekuasaan, pencerahan, kesejahteraan, kesehatan, keterampilan, kasih sayang dan kejujuran. Semua nilai ini bersama-sama mendukung dan disahkan.
·         Realisme Pragmatis
Aliran ini adalah pengembangan dari aliran realisme hukum yang lebih pragmatis. Tokoh-tokoh pelopor aliran ini adalah Jhon Chipman, Karl Llwellyn, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, dan lainnya. Menurut Llwellyn, realisme hukum bukanlah merupakan suatu aliran didalam filsafat hukum, melainkan sebagai suatu gerakkan dalam cara berpikir tentang hukum. Berdasarkan pendapat Llwellyn, Oliver Wendel Holmes berpendapat bahwa hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan. Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual para hakim. Realisme hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)    Realisme bukanlah suatun aliran/madzhab, melainkan suatu gerakkan dalam berpikir.
2)    Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial.
3)    Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein.
4)    Realisme tidak mendasarkan pada konsep hukum tradisional.
5)    Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum.
·         Critical Legal Study
Sejak berakhirnya era hukum modern. Perkembangan pemikiran dalam aliran ilmu hukum dianggap mencapai puncaknya setelah realisme hukum melakukan banyak observasi terhadap kaidah-kaidah sosial yang menjadi perhatian dalam struktur masyarakat. Realisme hukum menganggap dirinya sebagai “gerakan” bukan aliran, karena banyak melakukan studi untuk mendekatkan hukum dan masyarakat, maka dalam critical legal study, “gerakan” dipoles lebih sempurna melalui cara pandang critical legal study agar tidak memandang hukum, perundang-undangan sebagai sesuatu hal yang sempurna (perfect). Sehingga critical legal study sebagai gerakan lebih pantas juga disebut critical legal movement. Berangkat dari pemikiran dan gejolak sosial, critical legal study dipengaruhi oleh tiga pilar: 
1)    Ajaran kiri baru mazhab Frankfurt
2)    Ajaran postmodern
3)    Ajaran realisme hukum.
Ajaran yang ditegaskan melalui criticical legal study didominasi oleh krtik terhadap metanarasi-metanarasi yang mengagungkan objektivisme, formalisme dan positivisme.
Oleh karena aliran critical legal study dipengaruhi oleh ajaran kiri, maka aliran ini melakukan studi terhadap ketidakpercayaan aturan, perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Legislatif merancang undang-undang dipengaruhi oleh dua kepentingan antara relasi kuasa dan pasar (ekonomi). Dalam perundang-undangan kemudian sengaja diciptakan bahasa perundang-undangan yang “bias”, dan  dapat ditafsirkan berdasarkan kepentingan penguasa. Hakim menafsirkan pasal-pasal berdasarkan kehendaknya sendiri. Karena bagi critical legal study, seorang hakim sulit dilepaskan dari pengaruh dan gejala politik  serta psychologys ketika menjatuhkan putusan dalam perkara di pengadilan. Dua hal yang ditekankan oleh teori hukum kritis adalah:
1)    Teori hukum kritis (critical legal study) mendeskripsikan perbedaan, memperlihatkan relasi antara sebuah wacana konstitusi yang lain maupun wacana umum lainnya.
2)    Teori hukum kritis menaruh minat pada sebuah wacana konstitusi apa yang mendominasi, menguatkan, dan menyatukan wacana-wacana (hukum) lainnya.
·         Feminisme Jurisprudence
Salah satu subkultur dalam masyarakat adalah subkultur feminisme. Mereka adalah kaum feminis yang mengorganisir gerakan untuk menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki. Pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Dalam perkembangannya, paham yang diusung kaum feminis berkembang menjadi beberapa varian yang kemudian membagi feminisme ke dalam beberapa aliran. Feminisme dalam pemikiran hukum, terutama yang berkembang di Amerika pada 1960-1970, feminisme mendapatkan tempatnya dalam Feminist Legal Theory (FLT) yang dipayungi oleh Critical Legal Studies. FLT kemudian memunculkan metode analisis khas feminis dalam hukum untuk menganalisis masalah-masalah—terutama dalam aturan hukum dan pelaksanaannya—yang berkaitan dengan perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, aborsi dan lain-lain. Untuk menganalisis praktek hukum oleh pengadilan dan pengacara, Katherine T. Bartlet memperkenalkan metode pengkajian hukum khas FLT yaitu menanyakan pertanyaan-pertanyaan perempuan (asking woman question), metode penalaran secara feminis (feminist practical reasoning) dan membangkitkan kesadaran (consciousness-raising). Penalaran hukum feminis menolak adanya ‘komunitas monolitik’ yang sering ada dalam penalaran laki-laki, dan mengidentifikasi perspektif yang tidak terwakili dalam budaya dominan di mana penalaran itu harus dihasilkan. Dengan demikian dalam melakukan penalaran hukum untuk mencapai suatu simpulan tertentu, feminis akan mempertimbangkan hal-hal yang tidak universal, tidak general, namun lebih mencerminkan perempuan sebagai bagian yang memang memiliki kebutuhan dan kekhasan tertentu sebagai titik tolak penalarannya.
·         Semiotika Jurisprudence
Terminologi semiotika atau semiologi berasal dari kata Yunani, “semeion” berarti tanda/simbol, karena secara sederhana semiotika sering disebut sebagai “study of sign” (suatu pengkajian tanda-tanda), yang oleh Kris Budiman dan Scholes dijelaskan sebagai studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Sedangkan Saussure menyebutnya sebagai ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Dengan mendasarkan pada pandangan dari Charles Moris, yaitu seorang filsuf yang menaruh perhatian atas ilmu tentang-tanda-tanda, semiotika pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquery), yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
1)    Sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara suatu tanda dengan tanda yang lain.
2)    Semantik, yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan degsinata atau objek-objek yang diacunya.
3)    Pragmatik, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari  hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter atau para pemakainya-pemaknaan tanda-tanda.

Berkaitan dengan pengertian semiotika diatas, maka pengertian semiotika hukum adalah teori dan analisis berbagai tanda (simbolic) dan pemaknaan (signification) di dalamnya serta tata cara penggunaannya dalam kehidupan manusia. Pengertian tersebut sama dengan pengertian hukum sebagai simbol yang didalamnya ada nilai-nilai sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, dan tindakan secara arbriter, konvensional, representatif, interpretatif baik makna yang batiniah maupun yang lahiriah yang dilambangkan atau diwakili simbol. Dragan Milovanovic, seorang sosiolog hukum mencoba mengeluarkan koordinat bahasa hukum dari dominasi wacana dogmatis. Semiotika hukum model ini kemudian dikembangkan oleh aliran-aliran pemikiran hukum kritis yang bercita-cita agar hukum dimunculkan maknanya sebagai sesuatu yang adil dan manusiawi.

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di blog Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Bali, Terima kasih telah berkunjung di blog kami..