Special Protective Measures bagi Justice Collaborators dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi (Komparasi Good Practices for the Protection of Witnessess in Criminal Proceedings involving Organized Crime terhadap UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)
Suatu Gambaran Awal
Peliknya pembuktian
kejahatan-kejahatan yang bermotif white-collar
crime pada ensiklopedi penegakan hukum di Indonesia tak jarang memerlukan keberadaan
saksi-saksi kunci dalam memberikan keterangan dalam persidangan. Sebagai
komparasi, keberadaan affidavit dalam sistem pembuktian tindak pidana dalam
sistem jury pada sistem hukum Anglo-Saxon menempati posisi yang sangat
krusial.
Kemunculan berbagai
kasus-kasus tindak pidana korupsi yang mencuat hangat di media, (contoh: Kasus
Korupsi Wisma Atlet yang melibatkan M. Nazaruddin dan Rossa Manulang)
menunjukkan betapa pentingnya kepastian perlindungan saksi dalam penyampaian
keterangan. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Antonio Maria Costa, Chief Executive Director of United Nations
Office on Drugs and Crime (UNODC). Ia
mengungkapkan, “Witnesses need to
have the confidence to come forward to assist law enforcement and prosecutorial
authorities. They need to be assured that they will receive support and
protection from intimidation and the harm that criminal groups may seek to
inflict upon them in attempts to discourage or punish them from cooperating.”
Justifikasi Perlindungan
Keberadaan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(selanjutnya disebut UU Perlindungan Saksi dan Korban) telah menjadi suatu
paying hukum dan hembusan angin segar bagi ensiklopedi penegakan hukum di
Indonesia dalam mengungkap berbagai kasus korupsi yang marak di negara ini.
Jika dibandingkan dengan keberadaannya di Amerika Serikat, mekanisme di
Indonesia tergolong lambat karena Negeri Paman Sam pada tahun 1970 melalui Organized Crime Control Act telah
melaksanakan Witness Security (WITSEC)
Program.
Melihat jarak dan
perbedaan mekanisme pelaksanaan, penulis memandang perlu untuk melakukan
analisis terhadap substansi normatif UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Good Practices dari UNODC. Mengutip
pendapat Jessywn Yogaratnam, aktivis perlindungan asylum seeker di Australia, “It
is the duty of the young lawyer to not only oblige the law, but also to
challenge the current definition, to assure the coherence from the spirit
commanded in the international documents to each national legal instruments”
Permasalahan (A Comparative Approach)
UU Perlindungan Saksi
dan Korban telah memberikan gambaran awal dalam hal perlindungan saksi maupun
korban. Akan tetapi tidak pada kasus korupsi yang bersifat organized crime, terlebih memerlukan peranan justice collaborators.
Dalam Good Practices of Protection of Witnesses
oleh UNODC, justice collaborators diklasifikasikan ke dalam golongan saksi dan didefinisikan
sebagai “A person who has taken part in an offence connected with a
criminal organization possesses important knowledge about the organization’s
structure, method of operation, activities and links with other local or
foreign groups. An increasing number of countries have introduced legislation
or policies to facilitate cooperation by such people in the investigation of
cases involving organized crime”
Fenomena ini kerap
terjadi dalam proses pengadilan tindak pidana korupsi, sebagai contoh
keterlibatan Rossa Manulang dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Apabila ditinjau
dari substansi Pasal 5 tentang Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, yang
memuat :
a. memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang,
atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan
menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana
dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi
sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara
sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Akan tetapi pada
prakteknya, kerap kali justice
collaborators merupakan pihak yang terkait dalam rangakaian organized crime. Sehingga, terdapat
kekurangan substansial dari UU Perlindungan Saksi dan Korban yang mem-foresee kemungkinan saksi yang ada,
terlebih justice collaborator.
Menurut Good Practices of Protection of Witnesses
oleh UNODC, selayaknya terdapat special measures untuk melindungi justice collaborators bilamana tidak
mendapatkan suatu immunity karena
keterlibatannya dalam organized crime,
dengan mempertimbangkan kesaksiannya pada persidangan seperti:
(a) Separation from
the general prison population (penjara
yang terpisah);
(b) Use of a
different name for the prisoner-witness (identitas
yang berbeda selama masa tahanan di penjara);
(c) Special
transportation arrangements for in-court testimony (transportasi khusus selama perjalanan menuju pengadilan);
(d) Isolation in separate detention units
at the prison or even in special prisons (isolasi
pada unit detensi khusus).
Silver
Linings
Dilihat
dari segi perlindungan justice
collaborators, terdapat kekurangan
kepastian perlindungan hak atas rasa aman jika dibandingkan dengan ketentuan
Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Sehingga special measures, dipandang perlu dalam kaitan pemenuhan hak justice collaborators atas rasa aman.
Pandangan ini selayaknya mulai diejawantahkan dalam berbagai legal instruments, sehingga akan
menimbulkan kepastian akan rasa aman, dan niscaya semakin memunculkan justice collaborators lainnya dengan
kesaksian-kesaksian yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menguak tabir
korupsi di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar