PENGERTIAN
TRI KAYA PARISUDHA
Selama ini mahasiswa di Indonesia dan di Bali
kurang memahami tentang berbagai masalah adat. Terutama adat bali dalam kajianya
mengenai sejauh mana unsur-unsur / nilai-nilai luhur agama berperan besar
terhadap pembentukan kepribadian adat suatu daerah, terutama konsep Tri Kaya
Parisudha . Masyarakat Bali memang tak pernah terlepas dari
bayang-bayang agama Hindu. Begitu menyatu dan membaur. Demikian pula dalam cara
berpikirnya. Salah satu landasan berpikir dan berperilaku, yaitu : Tri Kaya
Parisudha. Tri Kaya Parisudha berarti : tiga landasan dalam bertingkah laku,
yang terdiri dari :
1. Berfikir
yang baik
2. Berbuat
yang baik
3. Berprilaku
yang baik
Filosofi
ini mengajarkan kepada masyarakat Bali untuk : satu pikiran, perkataan
&perbuatan. Sebenarnya, meski filosofi ini sudah tercipta lama sekali, tapi
masih relevan dengan kehidupan masyarakat Bali modern. Filosofi masih tetap
dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, sebagai pedoman dalam
bertingkah laku. Kalau dicari-cari, filosofi ini sangat universal. Seperti
dalam dunia Barat, dikenal istilah :integrity, commitment. Kalau dilihat dari
makna yang tersurat di dalam kedua kata ini, samalah dengan konsep Tri Kaya Parisudha
itu.
Tri
Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus
disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar
(Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri
berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku;
sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi
"Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga
perbuatan atau prilaku kita".
PENYUCIAN
PIKIRAN (MANACIKA)
Inilah
tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula
disini. Ia menjadi dasar dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan
perbuatan); dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar
yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan
meruwetkan segala urusan kita, walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu
ruwet tidaknya suatu permasalahan, amat tergantung padacara kita memandang
serta cara kita menyikapinya. Bila
pandangan kita sempit dan gelap, semuanya akan menjadi sumpek dan pengap.
Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas
sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh
mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan lensanya, serta kecangihan
dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu keberadaan, memberikan pancaran
objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat menangkapnya dengan
objektif. Pandangan kotor akan menampakkan objek kotor dan tidak murni dimata
kita. Apabila cara pandang serupa itu kita gunakan memandang berbagai fenomena
hidup dan kehidupan, tentu hidup kita menjadi ruwet, menimbulkan duka-nestapa,
serta berbagai kondisi-kondisi pikiran negatif. Hal inilah yang terjadi dalam
pikiran kita. Pikiran kita menjadi kotor dan suram pandangan kita sendiri.
Untuk
itu hanya kita sendiri yang dapat membersihkannya. Hal ini dalam Hindu
disebutkan :"tak ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin
kita, apabila kita sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih
benda-benda materi, tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa".
Untuk
menyucikan pikiran, perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk
memperbaiki pandangan, diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang
falsafah ajaran agana yang dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru.
Melalui hal tersebut, banyak kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna,
terbitnya cahaya terang dalam batin melalui bimbingan beliau, membantu
mempercepat proses menuju tujuan akhir.
Tiga
macam implementasi pengendalian pikiran dalam usaha untuk menyucikannya,
disebutkan di dalam Saracamuscaya, adalah:
1. Tidak
menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal.
2. Tidak berpikiran negatif terhadap makhluk
lain.
3. Tidak
mengingkari HUKUM KARMA PHALA.
Demikianlah
disebutkan didalam salah satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti
dari tiga hal di atas adalah bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum
pengatur yang bersifat universal, dapat membimbing mereka, yang meyakininya
untuk berpola pikir yang benar dan suci.
PENYUCIAN PERKATAAN (WACIKA).
Terdapat
empat macam perbuatan melalui perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:
1. Tidak
suka mencaci maki.
2. Tidak
berkata-kata kasar pada siapapun.
3. Tidak
menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain.
4. Tidak
ingkar janji atau berkata bohong.
Demikianlah
disebutkan dalam Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa sebetulnya
semua tuntunan praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita harus dapat
menerapkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
PENYUCIAN PERBUATAN FISIK & PERILAKU (KAYIKA).
PENYUCIAN PERBUATAN FISIK & PERILAKU (KAYIKA).
Terdapat tiga
hal utama yang harus dikendalikan, yaitu:
1. Tidak
menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh makhluk lain.
2. Tidak
berbuat curang, sehingga berakibat merugikan siapa saja..
3. Tidak
berjinah atau yang serupa itu.
Demikianlah
sepuluh hal penting dalam pelaksanaan Tri Kaya Parisudha sesuai dengan apa yang
dijabarkan dalam kitab Saracamuscaya. Pengamalan Tri Kaya Parisudha dalam
kehidupan sehari-hari sangat diperlukan untuk membentuk karma serta hubungan
yang baik antar sesama umat.
MASYARAKAT
BALI PADA UMUMNYA MASIH MENGGUNAKAN TRI KAYA PARISUDA
Hal
ini didasari karena konsep tersebut sesuai dan mudah dipahami sebagai
nilai-nilai moral masyarakat bali. Bali sebagai daerah yang hukum
adatnya masih berpengaruh dengan kuat dan diterima oleh alam hukum daerah
tersebut, yang semuanya berpangkal pada hidup budaya dan banyak dipengaruhi unsur-unsur
religius. Oleh karena itu, hukum adat di Bali hidup secara berdampingan dan saling mengisi dengan agama
(Hindu).
Dengan diterimanya unsur-unsur agama
ke dalam
hukum delik adat, secara konkrit terlihat dart tata cara penjatuhan sanksi adat
yang lebih banyak dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan. Dengan
demikian, maka berfungsinya hukum delik adat
tidak terlepas dari unsur-unsur religius, dalam arti, sesuai dengan pandangan
hidup berdasarkan ajaran-ajaran agama Hindu, di samping juga faktor lain
seperti kesadaran anggotamasyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan
tertib.
Dapat diidentifikasi beberapadelik hukum adat,
yang apabila diklasifikasikan termasuk dalam delik terhadap:
1.
harta benda;kepentingan orang banyak;
2.
kepentingan
pribadi seseorang;
3.
kesusilaan;
4.
dan pelanggaran lain yangsifatnya ringan.
Dalam
praktek peradilan di Bali, untuk kasus-kasus delik hukum adat, putusanhakim
didasarkan Pasal 5 ayat (3) sub. b UU No. 1 Drt Tahun 1951 yang dihubungkan
dengankewajiban
hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Ditemukan putusan yang bervariasi dalam penanganan
kasus-kasus delik hukum adat, bahkan ditemukan pula putusan hakim yang
menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan di luar ketentuan Pasal 10 KUHP.
Eksistensi
delik hukum adat dalam hukum pidana positif di Indonesia, palingtidak mematahkan
kekakuan asas legalitas dalam dinamika hukum pidana positif, walaupundalam
implementasinya hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan
kekakuannya.
Dalam era
implementasi hukum pidana mendatang, delik hukum adat masih diberikan
peluangkeberadaannya. Peluang keberadaan delik hukum adat tercermin dalam
konsep KUHP yangdituangkan dalam Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (4) sub. 5.
Langkah tepat para perancang konsep KUHP untuk tetap mengakui keberadaan delik
hukum adat dalam implementasi hukum pidana mendatang telah menunjukkan
adanya pergeseran pandangan terhadap hukum yang yuridis dogmatis menuju pada
pandangan yang sosiologis. Urgensi memasukkan delik hukumadat tentu berkait pula
dengan usaha mengangkat nilai-nilai sosial dan budaya sebagai khasanah potensial
dalam pembangunan hukum. Semua ini tentu dalam konteks, bahwa faktor-faktor
yangada di luar hukum, ikut pula menentukan efektif atau tidaknya hukum.
0 komentar:
Posting Komentar