Mencari sosok pemimpin dalam jumlah manusia yang banyak atau kelompok masyarakat besar tentulah bukan hal yang mudah. Bilamana dalam pemilihan pemimpin dalam sebuah kelompok masyarakat kecil atau entitas suku dan daerah yang kecil, maka dapat dilakukan dengan musyawarah atau bentuk kompromi sederhana. Tetapi, untuk komposisi masyarakat yang besar, memiliki jangkauan daerah luas dan wadahnya dalam entitas negara, maka untuk memberikan keadilan dan mewujudkan pergantian kepemimipinan berkala dalam sebuah negara demokrasi atau tipe negara modern muncul satu sistem pemilihan yang mewakili seluruh pendapat atau keinginan masyarakat, yaitu pemilu.
Orang-orang yang menawarkan diri untuk jadi pemimpin disebut calon atau kandidat, sedangkan yang mendapatkan penawaran untuk memilih pemimpin itu adalah masyarakat yang berhak untuk menggunakan hak pilihnya. Kumpulan dari beberapa kandidat yang menawarkan diri atau berkampanye tersebut layaknya pedagang yang menjual barang dagangannya dengan menyebutkan kualitas barangnya –dalam konteks ini adalah kampanye penyampaian kualitas visi, misi, program unggulan, dll. Kadang kala, barang tersebut tidak perlu ditawarkan gencar karena bila pedagang tersebut sudah terkenal produknya atau dikenal, maka Ia tidak perlu mempromosikan identitas dan kualitas produknya. Masyarakat sudah mengerti tentang kualitasnya dan merek produk tersebut, karena telah memiliki konsumen yang loyal.
Pemilu bagi kandidat yang baru atau non-incumbent ataupun kandidat yang belum memperlihatkan rekam jejak dirinya beserta jabatan yang diembannya secara nasional, berusaha mempromosikan dirinya lebih daripada kandidat lain, dengan tujuan mendapatkan perolehan suara yang banyak di awal kedatangannya, tentunya dengan cara kampanye yang diharapkan dapat menarik simpati publik agar membuat keputusan memilih dirinya. Akan tetapi, apakah secepat itu dapat memperoleh simpati masyarakat, bagi orang yang baru dikenal sepintas melalui wadah pemilu dan tiba-tiba muncul hendak jadi pemimpin dalam masyarakatnya? Tidak secepat dan semudah itu, sama seperti barang dagangan yang baru.
Kandidat yang baru tersebut bahkan kandidat yang telah dikenal, tidak hanya menggunakan cara yang wajar untuk memperoleh elektabilitas dalam waktu yang cepat serta mudah. Bisa juga digunakan cara yang tidak baik untuk meningkatkan tingkat pemilih kepada dirinya, melalui apa yang disebut dengan “black campaign”. Metode ini dengan menyerang kelemahan kandidat lawan yang dianggap publik sebagai sebuah hasutan sudut pandang yang membuat pertimbangan untuk menetapkan pilihannya kembali goyah dan pudar kemantapannya. Akibat yang ditimbulkan daripada metode ini adalah berpalingnya pemilih dari suatu kandidat kepada kandidat lain ataupun pihak yang semula netral atau berstatus swing voters lebih mempertimbangkan untuk memilih pasangan lain –selain kandidat lain yang terkena serangan black campaign.
Cara yang demikian dianggap sebagai cara cepat dan mudah dengan memanfaatkan situasi kelemahan lawan dan biasanya mengenai masa lalu atau pribadi daripada kandidat tersebut. Bila kita melihat kosa kata yang terdapat pada pemikiran masyarakat, maka istilah black campaign itu cara yang siap menelanjangi kandidat lawan dan banyak orang yang terorganisir ataupun relawan sporadis yang siap untuk menjalankan serangan tersebut.
Perlawanan terhadap bentuk black campaign tersebut dilakukan dengan cara, misalnya memberikan pertahanan berupa klarifikasi dari pihak terserang yang memberikan pernyataan bahwa hal tersebut tidak benar. Terdapat pula serangan balik atau membalas dengan black campaign juga, sebagai upaya reaktif dan ofensif terhadap serangan lawan. Lawan yang semula mengeluarkan serangan black campaign, menerima konsekuensi serangan balik atas tindakannya, begitulah prinsipnya. Kemudian, dengan cara yang seperti itu, apakah masyarakat mendapat manfaat dari cara black campaign? Saya rasa tidak. Mengapa? Karena terlihat masyarakat tersebut lebih suka terdidik dengan cara dipertunjukan keburukan atau citra negatif yang menjadi identitas atau kriteria utama daripada seseorang yang akan memimpin kita. Bila para kandidat sama-sama melakukan black campaign, makin terlihat stok regenerasi kepemimpinan yang baik dan ideal dalam masyarakat tidak ada atau kehabisan, karena serangan masing-masing dapat menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin mereka.
Lebih parah lagi, masyarakat akan menentukan menjadi golongan putih atau golput –semakin banyak golput, terlihat kualitas demokrasi semakin buruk. Perlawanan yang berkualitas tentunya menjadi pilihan yang dapat kita gunakan, agar masyarakat bisa menjadi terdidik dengan baik dan kualitas kandidat dapat dinilai dengan melihat prestasi, visi dan misi, program, dll. Lebih-lebih, masing-masing kandidat keunggulannya dapat diperbandingkan satu sama lain dan golput dapat kita eliminasi secara bertahap dengan porsi yang besar. Bentuk perlawanan yang berkualitas sebenarnya datang tidak hanya dari masyarakat simpatisan yang berlagak seperti garda depan pelindung bagi kandidat dan berusaha menunjukkan bahwa kandidat yang didukungnya mempunyai jawaban akan harapan masyarakat melalui pemamparan visi, misi dan program. Akan tetapi, lebih esensial yakni pada kandidat itu sendiri. Kandidat tersebut hendaknya bisa menempatkan
dirinya sebagai figur yang dapat dipercaya, sehingga electable bagi masyarakat. Sama seperti yang telah disinggung di atas, pedagang yang mempunyai barang baru tentunya susah mendapat kepercayaan di awal, akan tetapi seiring berjalannya waktu dan kualitas yang melekat pada barang tersebut, konsumen akan memilih barang dari pedagang tersebut. Tapi, butuh waktu dan proses untuk mendapatkan kepercayaan konsumen. Kandidat yang dikenal berkualitas tentunya telah menempatkan figur dirinya di hati masyarakat yang dibangun sedari dirinya belum memasuki arena kompetisi ajang pemilihan pemimpin berkala atau pemilu.
Figur yang telah menemukan bentuk identitasnya akan nampak di mata masyarakat sebagai orang yang sudah dikenal kapasitasnya, bukan sebaliknya sebagai bentuk pengenalan awal terhadap sosok baru, sehingga masyarakat diliputi rasa kebimbangan dan penasaran akan penilaian dan penjatuhan keputusan terhadap calon tersebut untuk jadi pemimpinnya. Kepemilikan akan citra sebagai seseorang yang berkualitas akan menjadi “perisai” bagi kandidat tersebut dalam melawan atau menghalau serangan black campaign –bahkan perisai tersebut diibaratkan melekat layaknya baju zirah perang, tanpa perlu menggunakan gerak tubuh untuk menggunakan fungsinya. Kandidat ini tentunya tidak perlu disibukkan atau merasa risau dengan serangan yang datang, cukup Ia mempermatang mental, penampilan, dan sikap dalam memoles penampakannya di depan masyarakat untuk berkampanye dan debat nasional menyampaikan visi, misi dan rencana program kepada masyarakat dari satu daerah ke daerah lain.
Jadi, black campaign itu serangan yang datang tiba-tiba di saat pemilu dengan cara terorganisir ataupun sporadis oleh kandidat atau simpatisannya untuk menyerang kapasitas kandidat lawan dan dapat mengurungkan niat pemilih untuk memilih salah satu atau beberapa kandidat atau bahkan tidak memilih sama sekali. Bentuk perlawanannyatidak hanya dengan klarifikasi dan serangan balik, akan tetapi terdapat cara yang baik agar efeknya tidak negatif bagi kandidat atau masyarakat, yakni dengan cara kampanye penyampaian keunggulan kandidat dan pembangunan kepercayaan masyarakat sedemikian rupa terhadap sosok dan efek kandidat tersebut yang telah dilakukan sejak lama, sehingga figur tersebut sangat kuat dikenal dan telah mendapatkan hati di masyarakat sebelum didakannya pemilu.
Sejarah Negara Indonesia mencatat, kita telah berada dalam lingkup black campaign sejak tahun 1955, tepatnya September 1955 di Lapangan Banteng. Partai Komunis Indonesia (PKI) melontarkan pernyataan yang membakar pengikutnya dengan mengatakan “Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Onta” sebaliknya, Masyumi membalas “Jika PKI menang, Lapangan Banteng akan diubah menjadi Lapangan Merah (Kremlin-Moskow)”. Tapi, apakah nama Lapangan Banteng berubah menjadi Lapangan Onta dengan menangnya Masyumi di Jakarta pada saat itu? Jawabannya tidak. Itu cuma black campaign, tidak perlu dihiraukan. Kita sebagai pemilih, sudah cukup merasa dewasa dalam menyikapi persoalan black campaign berdasarkan sejarah. Selamat Berdemokrasi Indonesia.
jadi ada gak pak perlindungan hukum untuk calon yang terkena black campaign?? lalu apa bentuknya? lalu apakah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan hal tersebut dapat dituntut secara hukum?
BalasHapus