Minggu, 15 Juli 2012

Penegakan Jurisdiction Territorial Sovereignity Serta Marine and Island’s Security Indonesia Ditinjau Dari Supremasi Hukum Laut Nasional dan Internasional.


Jalesveva Jayamahe!
Raksamahiva Camudresu Nusantrasya.

  • Kedaulatan Laut adalah Harga Mati NKRI !
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara maritim telah mendapatkan pengukuhan statusnya dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). Dengan demikian NKRI telah mendapat jaminan atas hak-haknya sebagai negara maritim. Berkah yang diberikan UNCLOS 1982 ini sepatutnya kita syukuri, karena Indonesia-lah negara yang paling diuntungkan, mengingat NKRI adalah negara maritim yang memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan luas daratan 2.027 km2, luas perairan 6.184.280 km2). Perairan Indonesia yang kaya akan hasil perikanannya tersebut seharusnya dapat di jadikan daya tarik pariwisata, serta devisa negara dalam berbagai aspek. Disamping itu masih banyak pulau yang belum tersentuh sampai saat ini yang merupakan potensi sumber alam dan kekayaan bangsa ini.
Begitu banyaknya permasalahan politik di negeri ini, sehingga kita dapat melihat bahwa kurang jelihnya pemerintah dalam mengelola sumber yang sudah tersedia di depan mata. Karena itu keterlantaraan potensi kekayaan bangsa pun masih belum di pikirkan sampai sekarang. Ditambah lagi sengketa wilayah teritorial dengan negara tetangga Malaysia. Mulai dari kasus pulau Sipadan dan Ligitan sampai dengan kasus pulau Ambalat. Ini menandakan bahwa masih rapuhnya hukum nasional yang mengatur tentang pulau terlantar, batas wilayah, serta teritorial laut Indonesia.
Sebagai konsekuensi dari adanya Hukum Laut Internasional (HLI), Indonesia dihadapkan pada beban tugas yang berat yaitu mengelaborasi dan menjabarkan HLI ini untuk kepentingan sendiri dan untuk pengaturan lalu-lintas laut internasional yang cukup padat (karena kedudukan wilayah NKRI yang strategis) serta melaksanakan perundingan dengan negara-negara tetangga untuk menentukan batas perairan, semua itu perlu dilakukan dalam rangka penegakan wilayah kedaulatan NKRI. Untuk itu pemerintah dihimbau untuk menigkatkan pertahanan dan keamanan laut serta memberdayakan sumber daya alam dari pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia. Tujuannya agar mencegah illegal fishing , pencemaran laut, serta pulau-pulau terluar memiliki status kepunyaan dan dapat dikelola oleh anak bangsa khususnya daerah-daerah pengelola, supaya tidak jatuh ke tangan negara lain yang ingin mengklaim aset bangsa kita.

  • Berawal dari Sejarah Deklarasi Djuanda sampai Hukum Laut Internasional
Indonesia pernah menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) ketika dicetuskannya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda menyatakan Indonesia menganut Konsepsi Nusantara prinsip-prinsip negara kepulauan pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara. Ini karena laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda diresmikan menjadi UU no. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Indonesia bertambah menjadi 2,5 kali lipat sebelumnya. Dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 dengan pengecualian Irian Jaya, karena belum diakui secara Internasional. (Hukum Laut, Prof. Dr. Mochtar Kusumaadmadja S.H, LLm.)

Konferensi Internasional dibidang kelautan yang sejak dulu telah dirundingkan, belum mencapai kata sepakat dengan Konsepsi Nusantara yang dicetuskan oleh Indonesia pada waktu itu. Akhir dari perdebatan tersebut, puncaknya adalah dengan diadakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut  (United Nations Conference on the Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konferensi ini telah ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh permasalahan di bidang kelautan. Deklarasi Djuanda akhirnya dapat di terima di dunia Internasional dengan di pertegas oleh UU no 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982, bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan.
  • UNCLOS 1982 Bukanlah Sebuah Jawaban
Sudah seperempat abad UNCLOS 1982 diberlakukan, tetapi belum begitu banyak tugas-tugas yang telah kita rampungkan. Masalahnya adalah, kita tidak memiliki ahli hukum laut yang cukup dan anggaran/finansial yang sangat terbatas, padahal tugas-tugas tersebut memerlukan biaya sangat besar. Di lain pihak begitu luas dan panjangnya perbatasan darat dan perairan negara-negara yang harus ditetapkan/dikukuhkan dengan kesepakatan bersama. Ada 3 negara yang berbatasan darat dengan NKRI yaitu Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste dan ada 10 negara yang berbatasan laut dengan NKRI yaitu : Malaysia, Singapura, Thailand, India, Singapura, PNG, Australia, Vietnam, Filipina dan Palos. Sebagian besar negara-negara tersebut berada di sebelah utara NKRI yang relatif penduduknya lebih padat daripada penduduk pulau-pulau Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara tersebut yaitu : Kalimantan, Sulawesi, Kep. Maluku dan Papua. Permasalahan kawasan perbatasan darat dirasakan lebih berat dan lebih rumit. Penegasan garis batas (border lines) antara RI Malaysia di Pulau Kalimantan yang telah dikerjakan sejak 1975, sepanjang + 2004 km hingga saat ini belum tuntas diundangkan, karena ada permasalahan (perbedaan pandangan) pada sejumlah segmen batas yang belum disepakati. Demikian pula dengan perbatasan darat RI-PNG di Papua (+ 715 km). Padahal keberadaan garis batas yang sudah sah secara hukum adalah sangat penting karena border lines ini merupakan prasarana utama penegakan wilayah kedaulatan negara sekaligus merupakan sarana perekat kesatuan bangsa.
Belum lagi masalah Pulau – Pulau Kecil Perbatasan (PPKB) yang berada di kawasan perbatasan negara jumlahnya mencapai 92 buah pulau. Menurut pasal 8 UU No. 43 Tahun 2008 tentang Negara Wilayah yakni secara yurisdiksi, Indonesia berbatasan dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Pulau-pulau tersebut memiliki nilai strategis secara geopolitik, geoekonomi, geografi maupun geo-kultural.
Keberadaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan berperan strategis dengan batas wilayah negara. Hal ini sudah dituangkan dalam Undang-Undang (UU) wilayah negara No. 43 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa pentingnya ”pengelolaan terpadu untuk kawasan perbatasan” sehingga kawasan itu memposisikan dirinya sebagai wilayah terdepan NKRI. Karena itu pembangunan wilayah batas negara terutama PPKB lebih mendapatkan prioritas untuk jaminan keamanan dan pertahanan negara, keutuhan wilayah perbatasan, menumbuhkan kesadaran kebangsaan, pemberdayaan ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Hal ini secara tegas diuraikan dalam Pasal 3 UU tersebut bahwa tujuan pengaturan wilayah negara adalah untuk menjamin keutuhan wilayah negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa; menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan, mengatur pegelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.
Secara politik, keberadaan pulau-pulau perbatasan maritim memiliki nilai strategis karena menyangkut posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional. Contoh kasusnya pada tahun 2002, Indonesia mengalami kekalahan dalam Mahkamah Internasional di Denhag Negeri Belanda dalam kasus perebutan pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia. Perbandingan suaranya 16 mendukung Malaysia dan 1 mendukung Indonesia. Praktis memberikan pukulan telak bagi pihak di Indonesia, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun Kementerian Luar Negeri (KEMLU). Kekalahan Indonesia ini seharusnya membangunkan kesadaran geografis dari semua pihak di negeri tercinta ini.

  • Kusutnya Pertahanan dan Pemberdayaan Wilayah Teritorial Indonesia
Permasalahan yang timbul adalah dari 17.504 pulau di Indonesia, 4.168 pulau belum diberi nama dan mungkin belum terjamah. Dalam bukunya Beyond Borders, I Made Arsana megatakan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia siap membuat pengajuan kepada PBB mengenai status pulau-pulau kecil, setelah pengverifikasian 3.046 pulau di 11 provinsi Indonesia. Dari kutipan tersebut sangat jelas bahwa pemerintah lamban dalam menentukan sikapnya terhadap kepulauan kecil. Selain itu permasalahan tentang kondisi pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu dengan India (3 pulau), Malaysia (22 pulau), Singapura (5 pulau), Malaysia dan Vietnam (1 pulau), India dan Thailand (1 pulau), Filipina (11 pulau), Vietnam (2 pulau),  Australia (24 pulau), Palau (8 pulau), dan Timor Leste (6 pulau), sementara 9 pulau lainnya berbatasan langsung dengan laut lepas.(Sumber : Wikipedia) Potensi pulau-pulau di perbatasan laut cukup besar dan bernilai ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Beberapa pulau dapat dikembangkan sebagai kawasan konservasi penyu dan kawasan wisata bahari karena kondisi alamnya yang indah. Selain itu, cukup banyak pula pulau-pulau kecil yang telah di sewakan oleh pemerintah untuk dikelola para investor asing. Namun demikian, tidak seluruh pulau dapat dikembangkan karena kondisi alam yang tidak memungkinkan.
Dari keseluruhan pulau-pulau terluar yang ada, hanya 33 pulau yang dihuni oleh manusia. Pulau-pulau yang tidak dapat dihuni pada umumnya berupa pulau berbatu atau pulau karang dengan luasan yang kecil sehingga sulit untuk didarati oleh kapal. Secara umum, pulau-pulau kecil terluar menghadapi permasalahan yang hampir serupa satu sama lain. Sebagian besar pulau-pulau kecil terluar merupakan pulau terpencil dengan aksesibilitas yang rendah serta tidak memiliki infrastruktur yang memadai. Karena jauhnya keterjangkauan dari pulau utama, pulau-pulau kecil terluar ini berpotensi bagi sarang perompak dan berbagai kegiatan ilegal. Disamping itu, sebagai kawasan perbatasan, sebagian besar pulau kecil terluar belum memiliki  garis batas laut yang jelas dengan negara lain serta rawan terhadap ancaman sosial budaya, pertahanan, dan keamanan.

  • Bisnis Jual dan Sewa Pulau Kecil  Menjadi Idaman Pemerintah Pusat dan Daerah
Alasan rencana menyewakan pulau tak lebih dari sikap latah Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) yang memakai alasan krisis ekonomi yang mendera negara sejak 1997/1998, memaksa semua pihak untuk mencari alternatif keluar dari krisis, sekaligus agar bisa berperan dalam memecahkan masalah perekonomian nasional. Menurut DELP, dari berbaai sumber, daripada 2.000-10.000 pulau kecil yang terlantar dan tak berpenghuni, lebih baik dimanfaatkan untuk bisa menambah penghasilan negara sekaligus untuk membayar utang luar negeri. Diperkirakan penyewaan 2.000 pulau bisa memberi masukan 20 milyar dollar AS selama 20 tahun, bila penyewa dikenakan tarif 2-10 juta dollar AS setiap pulau selama 20 tahun. Belum lagi masyarakat dan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat juga dapat memperoleh manfaat ekonomi seperti dari wisata laut yang dikembangkan di setiap pulau yang disewa oleh investor. Beberapa pengusaha dari Kuwait, Singapura, Jepang, sudah menanggapi secara positif. Alasan kedua dianggap aneh oleh banyak pihak. Yaitu alasan konservasi. Melakukan konservasi dengan mendatangkan pihak asing merupakan suatu paradoks, hal yang bertentangan. Sebab, masuknya asing biasanya dilandasi kepentingan bisnis, daripada konservasi. Apalagi pihak asing itu adalah investor.
Rencana pemerintah, pengelolaan 2.000 pulau yang disewakan hanya meliputi untuk konservasi, ekowisata (seperti menyelam, berselancar, snorkling), budidaya laut, dan penangkapan ikan. Pengelolaan pulau tidak boleh untuk kegiatan negatif seperti perjudian dan limbah. DELP menyatakan, tidak seluruh luas pulau yang disewakan akan diberikan kepada investor. Namun hanya 40 persennya saja. 60 peren dari luas pulau akan dijadikan sebagai kawasan `sabuk hijau’. DELP hanya akan mengelola pulau kecil yang berjarak melebihi 12 mil dari garis pantai. Sedangkan yang berjarak di bawah 12 mil dari garis pantai, sepenuhnya menjadi hak hak Pemda sesuai dengan ketentuan otonomi daerah. Pulau-pulau Indonesia yang tercatat sudah disewakan adalah Pulau Galang Baru, Pulau Sebaik. Pulau Tatawa, Pulau Panjang, Pulau Meriah, Pulau Bawah, Pulau Bengkoang, Pulau Geleang, Pulau Kembar, Pulau Kumbang, Pulau Katang, Pulau Krakal Kecil, Pulau Krakal Besar, dan lain-lain. (Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Bukan hanya penyewaan saja, bahkan penjualan pulau-pulau kecil pun santer terdengar di media cetak maupun online. Berita yang dilansir dari Detik dan Republika yaitu pulau yang ramai lagi sepekan terakhir, yang dikabarkan dijual adalah Macaroni dan Kandui. Pulau Macaroni  dijual seharga US$ 1,6 juta, Pulau Macaroni US$ 4 juta, dan Kandui US$ 8 juta. Seperti yang tertera dalam situs www.pribateislandsonline.com, tiga pulau di Mentawai, Sumatera Barat tertera 'for sale' yakni pulau Pulau Siloinak, Makaroni, dan Kandui.Bahkan dari tiga pulau tersebut, satu diantaranya sudah pernah ditawarkan ke asing yakni Pulau Siloinak, seharga US$ 1,6 juta. Pulau tersebut dinilai memiliki pantai yang berpasir putih dan ombak yang menggulung-gulung, ketiga pulau ini merupakan surga bagi pencinta surving kelas dunia.


  • Solusi Pertahanan dan Aksesibilitas di Kawasan Perbatasan

Sebagai konsekuensi terbatasnya sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia di bidang pertahanan dan keamanan (aparatur TNI/Polri) beserta kapal patrolinya, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan laut dan perairan disekitar pulau-pulau terluar, sehingga mengakibatkan dampak negatif yang lebih jauh dengan sering terjadinya pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata. Upaya pemecahan masalah pertahanan ini adalah :
a.       Membangun pos-pos keamanan lintas batas (CIQS) di pulau-pulau perbatasan.
b.  Melakukan koordinasi pemantauan keamanan antara RI – negara tetangga (Malaysia, Singapura, Filifina, Timor Leste, dan lainnya).
c.    Pemberlakuan kegiatan patroli keamanan laut di kawasa perbatasan dan pulau-pulau kecil terpencil secara kontinyu.
Secara umum, pulau-pulau kecil terluar mengahadapi permasalahan yang hampir serupa satu sama lain. Sebagian besar pulau-pulau kecil terluar merupakan pulau terpencil dengan aksesibilitas yang rendah serta tidak memiliki infrastruktur yang memadai. Minimnya aksesibilitas dari dan keluar kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu factor yang turut mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktifitas sosial ekonominya  kenegara tetangga yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat yang tinggal di perbatasan.Upaya untuk permasalahan aksesibilitas ke perbatasan adalah :
a.   Perlu adanya kerjasama interdep dalam rangka membangun sarana dan prasarana seperti transportasi, komunikasi, kelistrikan, pelayanan air  bersih, serta sarana ekonomi (perbankan) di perbatasan.
b.      Pembangunan terminal/pelabuhan laut antarnegara di pulau-pulau strategis.
c.       Subsidi angkutan perintis darat, laut, dan udara.
d.      Pengembangan pelabuhan dan pengadaan fasilitas Sistem Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP)
e.    Membangun dermaga-dermaga kecil di pulau-pulau yang tidak ada penghuninya yang pada umumnya berupa pulau berbatu atau pulau karang, sehingga mudah untuk didarati kapal.
Pemerintah harus menegakkan Kedaulatan dan Pertahanan Teritorial Indonesia sebagai negara maritim yang mampu mengelola seluruh sumber daya alamnya khususnya laut dan pulau-pulau kecil. Keterlibatan Pemerintah Pusat, Pemda dan masyarakat perbatasan juga perlu dalam memelihara dan mengawasi pilar (tugu) batas negara dan penambahan pilar-pilar baru guna mengkukuhkan status daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Perlu juga diadakannya prioritas pembangunan, pemberdayaan dan pengawasan terhadap penduduk daerah perbatasan dan pulau-pulau terpencil yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan dan permukiman negara tetangga. Untuk itu TNI/POLRI diharapkan mampu menjaga stabilitas keamanan perbatasan dan laut Indonesia. Usaha kita semua adalah kejayaan Bangsa Indonesia, JALESVEVA JAYAMAHE!

by : Renfred Valdemar (Ketua DPC Permahi Bali)

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di blog Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Bali, Terima kasih telah berkunjung di blog kami..