Jumat, 04 April 2014

TINDAK PIDANA PEMILU


Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sudah bergulir, peserta Pemilu beserta para calon yang diusungnya ramai-ramai menarik simpati warga masyarakat untuk meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya dalam rangka memenangakan Pemilu. Pemilu sangat erat kaitannya dengan demokrasi, karena Pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, maka cara rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya di dalam roda pemerintahan dilakukan melalui mekanisme Pemilu.
Pemilu legislatif tahun 2014 yang hampir memasuki tahap pemungutan suara, menjadi perhatian utama setiap partai politik peserta Pemilu untuk meraup 20% suara di lembaga legislative yang dijadikan bekal di dalam penentuan partai penguasa yang akan memimpin Indonesia 5 tahun kedepan. Segala hal dilakukan oleh partai politik untuk menarik simpati rakyat dan bersaing sesame peserta Pemilu untuk menjadi Pemenang di dalam penyelenggaraan Pemilu di tahun 2014.
Pemilu memang tidak pernah lepas dari intrik-intrik politik. Sehingga tidak mengherankan di setiap pelaksanaan Pemilu tidak pernah lepas dari pelanggaran Pemilu baik yang bersifat administrasi, bahkan Tindak Pidana atau yang lazim disebut tindak pidana Pemilu. Bawaslu mencatat dari Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2009 jumlah pelanggaran yang masuk ke Bawaslu mencapai 21.360 laporan. Laporan ini terbagi atas pelanggaran administrasi sebanyak 15.341 laporan, dan tindak pidana Pemilu sebanyak 6.019 laporan. Dimulai dari tahapan penyusunan dan pemuktahiran daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan peserta Pemilu, pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD, masa kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan hasil Pemilu.
Melihat pemberitaan dan iklan masyarakat di Media tentang tindak pidana Pemilu, muncul pertanyaan di dalam benak masyarakat apa yang dimaksud dengan tindak pidana Pemilu?. Terdapat beberapa pendapat dan tafsiran mengenai tindak pidana Pemilu oleh para pakar pidana di Indonesia, hal ini terjadi karena di dalam Undang-undang (baik KUHP maupun UU Pemilu) tidak mendefenisikan apa yang dimaksud dengan tindak pidana Pemilu.
Djoko prakoso memberikan definisi terhadap tindak pidana Pemilu sebagai berikut :
“Setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi, atau menggangu jalanya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang”.
Sedangkan Topo Santoso memberikan tiga definisi awal terkait dengan tindak pidana Pemilu, ketiga definisi tersebut yaitu :
1.      Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam Undang-undang Pemilu.
2.      Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam maupun di luar undang-undang Pemilu.
3.      Semua tindak pidana yang terjadi pada saat Pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan, dan sebagainya).
Dari definisi yang dikemukakan oleh Topo santoso, topo santoso menggunakan definisi pertama, karena menurut beliau pengertian ketiga adalah pengertian yang tegas dan paling fokus cakupanya, yaitu hanya tindak pidana yang diatur di dalam UU Pemilu saja.
Sedangkan pada definisi kedua dirasa kurang tepat karena pembatasan terhadap Undang-undang Pemilu tidak dapat memenuhi asas Lex Specialis derogate legi generalis, karena cakupan terhadap tindak pidana Pemilu terpisah-pisah baik di dalam KUHP, UU Pemilu, maupun definisi yang terdapat di dalam UU Partai Politik membuat binggung penegak hukum di dalam menjatuhkan pidana. Pada definisi ketiga cakupan tindak pidana Pemilu yang disebutkan terlalu Luas sehingga apabila terjadi tindak pidana biasa yang terjadi selama penyelenggaraan Pemilu masuk kedalam ruang lingkup tindak pidana Pemilu. sehingga pada definisi ketiga tidak dapat diterima.
Jadi dapat disimpulkan tindak pidana Pemilu merupakan semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam UU Pemilu. karena fokusnya adalah tindak pidana, dengan begitu berbagai kecurangan yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, tetapi bukan termasuk tindak pidana tidak menjadi objek kajian dari tindak pidana Pemilu.
Pengaturan terkait tindak pidana Pemilu sebenarnya sudah terdapat di dalam pasal 148 sampai 152 KUHP tentang kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan yang dimana memiliki klasifikasi perbuatan sebagai berikut :
1.      Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih (Pasal 148 KUHP).
  1. Penyuapan
  2. Perbuatan Tipu Muslihat
  3. Mengaku Sebagai Orang Lain
  4. Menggagalkan Pemungutan Suara yang Telah Dilakukan atau Melakukan Tipu Muslihat
Untuk pengaturan tindak pidana Pemilu saat ini sudah diatur secara khusus di dalam Undang-undang tentang Pemilu yang termuat di dalam ketentuan pidana di setiap Undang-undang Pemilu antara lain :
1.      UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, yang di dalam pasal 115-Pasal 119 ketentuan Pidana (Tindak Pidana Pemilu Pemilukada)
2.      UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
3.      UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Di setiap pelaksanaan Pemilu, baik Pemilu anggota legislatif, Presiden, maupun kepala daerah memiliki Klasifikasi perbuatan yang termasuk ke dalam tindak Pidana Pemilu, namun secara garis besar, perbuatan yang termasuk dalam klasifikasi tindak pidana Pemilu meliputi :
1.      Perbuatan yang menghilangkan hak pilih orang lain
2.      Mengganggu tahapan Pemilu, dan menghilangkan Integritas Pemilu.
3.      Praktik curang untuk memenangkan salah satu kandidat peserta Pemilu
4.      Politik uang
5.      Kampanye hitam
6.      Dll (seperti yang termuat di dalam ketentuan pidana Perundang-undangan Pemilu).

Ketika kita melihat tindak pidana pemilu yang terjadi selama tahapan penyelenggaraan Pemilu, hal yang baiknya kita lakukan adalah melaporkannya kepada Bawaslu/Panwaslu yang terdapat di lapangan. Jangan melaporkan tindak pidana Pemilu yang terjadi ke pihak kepolisian, tidak akan digubris karena kewenangan melaporkan tindak pidana Pemilu ke Penyidik Kepolisan adalah Bawaslu/Panwaslu yang dimana hal ini dimuat di semua UU Pemilu di Indonesia.
Proses penyelesaian tindak pidana Pemilu, diselesaikan dengan menggunakan KUHAP, namun ada beberapa kekhususan terkait dengan tata cara pelaporan, dan jangka waktu penyelesaian yang relative singkat dibandingkan dengna jangka waktu yang tertuang di dalam KUHAP
Terkait dengan Pelaporan tentang adanya dugaan tindak pidana Pemilu dapat dilaporkan oleh Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, pemantau Pemilu, dan peserta Pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat tujuh hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan Pemilu.
Hal ini yang menjadi keistimewaan di dalam penanganan tindak pidana Pemilu, karena pelapor yang merupakan WNI, Pemantau Pemilu, maupun peserta Pemilu tidak dapat melaporkan tindak pidana Pemilu secara langsung kepada Penyidik kepolisiam, namun harus melalui Bawaslu terlebih dahulu, karena Bawaslu/Panwaslu yang secara legal diberikan oleh Undang-undang untuk melaporkan tindak pidana Pemilu yang terjadi kepada pihak Penyidik Kepolisian untuk dilakukan proses selanjutnya.
Dalam proses pengawasan tersebut, selain menerima laporan, Bawaslu dan Panwaslu juga melakukan kajian atas laporan dan temuan pelanggaran, serta meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. Jika laporan yang diterima oleh Bawaslu mengandung unsur pidana, Bawaslu meneruskan laporan tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan sesuai dengan hukum acara pidana yang ditentukan oleh Peraturan Pemilu.
Berdasarkan Peraturan Pemilu, batas waktu pelaporan yang ditentukan adalah tujuh hari sejak perbuatan dilakukan. Jika pelaporan adanya dugaan tindak pidana dilakukan sebelum lewat dari batas waktu yang ditentukan, laporan akan diterima oleh Bawaslu dan selanjutnya akan dilakukan pengkajian terhadap laporan tersebut. Dalam hal laporan tersebut mengandung unsur pidana, bawaslu meneruskan laporan tersebut kepada penyidik dalam waktu paling lama 1x24 jam sejak laporan tersebut diputuskan sebagai tindak pidana Pemilu..
Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Jadi, 14 hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada Penuntut Umum Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama tiga hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal tiga hari untuk kemudian dikembalikan
Kepada Penuntut Umum. Maksimal lima hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakkan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu).
Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung 12 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proses Persidangan Pelanggaran Pidana Pemilu, Pemeriksaan perkara pidana Pemilu dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat. Pemeriksaaan biasa digunakan untuk menyelesaikan perkara pidana Pemilu yang diancam dengan hukuman lebih dari lima tahun. Persidangan pelanggaran pidana Pemilu dilakukan dalam tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan negeri oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA. PERMA Nomor 03 Tahun 2008 tentang Penunjukan Hakim Khusus Perkara Pidana Pemilu.
Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan Pengadilan negeri tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama tiga hari setelah putusan dibacakan. pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada pengadilan tinggi paling lama tiga hari sejak permohonan banding diterima. pengadilan tinggi memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama tujuh hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.
Demikian Sedikit penerangan mengenai Tindak Pidana Pemilu dan Proses penyelesaianya, semoga dapat membantu dan mencerahkan kawan-kawan sekalian terkait dengan Tindak Pidana Pemilu, dan bersama-sama melakukan upaya penanggulangan tindak pidana Pemilu yang selalu terjadi di setiap penyelenggaraan Pemilu, agar tercapainya Pemilu yang Luberjurdil dan Pemimpin serta wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu dapat mensejahtrakan rakyat Indonesia.

Materi yang dibahas :
1.      Definisi Tindak Pidana Pemilu
2.      Ruang Lingkup tindak pidana Pemilu
3.      Klasifikasi perbuatan yang termasuk tindak pidana Pemilu
4.      Mekanisme Penyelesaian tindak pidana Pemilu

SUMBER :
1.      Topo Santoso, 2006, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta: Sinar Grafika.
2.      Janedjri M.Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konpress.
3.      Undang-undang No 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD.
4.      Undang-undang No 48 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden.

5.      Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di blog Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Bali, Terima kasih telah berkunjung di blog kami..