Penyelenggaraan
Pemilu di Indonesia sudah bergulir, peserta Pemilu beserta para calon yang
diusungnya ramai-ramai menarik simpati warga masyarakat untuk meraup suara
rakyat sebanyak-banyaknya dalam rangka memenangakan Pemilu. Pemilu sangat erat
kaitannya dengan demokrasi, karena Pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara
yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika demokrasi diartikan
sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, maka cara rakyat untuk
menentukan wakil-wakilnya di dalam roda pemerintahan dilakukan melalui
mekanisme Pemilu.
Pemilu
legislatif tahun 2014 yang hampir memasuki tahap pemungutan suara, menjadi
perhatian utama setiap partai politik peserta Pemilu untuk meraup 20% suara di
lembaga legislative yang dijadikan bekal di dalam penentuan partai penguasa
yang akan memimpin Indonesia 5 tahun kedepan. Segala hal dilakukan oleh partai
politik untuk menarik simpati rakyat dan bersaing sesame peserta Pemilu untuk
menjadi Pemenang di dalam penyelenggaraan Pemilu di tahun 2014.
Pemilu
memang tidak pernah lepas dari intrik-intrik politik. Sehingga tidak
mengherankan di setiap pelaksanaan Pemilu tidak pernah lepas dari pelanggaran
Pemilu baik yang bersifat administrasi, bahkan Tindak Pidana atau yang lazim
disebut tindak pidana Pemilu. Bawaslu mencatat dari Pemilu anggota DPR, DPD,
dan DPRD tahun 2009 jumlah pelanggaran yang masuk ke Bawaslu mencapai 21.360 laporan.
Laporan ini terbagi atas pelanggaran administrasi sebanyak 15.341 laporan, dan tindak
pidana Pemilu sebanyak 6.019 laporan. Dimulai dari tahapan penyusunan dan
pemuktahiran daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan peserta Pemilu,
pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD, masa kampanye, masa tenang, pemungutan
dan penghitungan suara, serta penetapan hasil Pemilu.
Melihat
pemberitaan dan iklan masyarakat di Media tentang tindak pidana Pemilu, muncul
pertanyaan di dalam benak masyarakat apa yang dimaksud dengan tindak pidana
Pemilu?. Terdapat beberapa pendapat dan tafsiran mengenai tindak pidana Pemilu
oleh para pakar pidana di Indonesia, hal ini terjadi karena di dalam
Undang-undang (baik KUHP maupun UU Pemilu) tidak mendefenisikan apa yang dimaksud
dengan tindak pidana Pemilu.
Djoko
prakoso memberikan definisi terhadap tindak pidana Pemilu sebagai berikut :
“Setiap
orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum,
mengacaukan, menghalang-halangi, atau menggangu jalanya pemilihan umum yang
diselenggarakan menurut undang-undang”.
Sedangkan
Topo Santoso memberikan tiga definisi awal terkait dengan tindak pidana Pemilu,
ketiga definisi tersebut yaitu :
1. Semua
tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam
Undang-undang Pemilu.
2. Semua
tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam
maupun di luar undang-undang Pemilu.
3. Semua
tindak pidana yang terjadi pada saat Pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas,
penganiayaan (kekerasan), perusakan, dan sebagainya).
Dari
definisi yang dikemukakan oleh Topo santoso, topo santoso menggunakan definisi
pertama, karena menurut beliau pengertian ketiga adalah pengertian yang tegas
dan paling fokus cakupanya, yaitu hanya tindak pidana yang diatur di dalam UU
Pemilu saja.
Sedangkan
pada definisi kedua dirasa kurang tepat karena pembatasan terhadap Undang-undang
Pemilu tidak dapat memenuhi asas Lex
Specialis derogate legi generalis, karena cakupan terhadap tindak pidana
Pemilu terpisah-pisah baik di dalam KUHP, UU Pemilu, maupun definisi yang
terdapat di dalam UU Partai Politik membuat binggung penegak hukum di dalam
menjatuhkan pidana. Pada definisi ketiga cakupan tindak pidana Pemilu yang
disebutkan terlalu Luas sehingga apabila terjadi tindak pidana biasa yang
terjadi selama penyelenggaraan Pemilu masuk kedalam ruang lingkup tindak pidana
Pemilu. sehingga pada definisi ketiga tidak dapat diterima.
Jadi
dapat disimpulkan tindak pidana Pemilu merupakan semua tindak pidana yang
berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam UU Pemilu. karena
fokusnya adalah tindak pidana, dengan begitu berbagai kecurangan yang terkait
dengan penyelenggaraan Pemilu, tetapi bukan termasuk tindak pidana tidak
menjadi objek kajian dari tindak pidana Pemilu.
Pengaturan
terkait tindak pidana Pemilu sebenarnya sudah terdapat di dalam pasal 148
sampai 152 KUHP tentang kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak
kenegaraan yang dimana memiliki klasifikasi perbuatan sebagai berikut :
1.
Merintangi orang menjalankan haknya
dalam memilih (Pasal 148 KUHP).
- Penyuapan
- Perbuatan
Tipu Muslihat
- Mengaku
Sebagai Orang Lain
- Menggagalkan Pemungutan Suara yang Telah Dilakukan atau
Melakukan Tipu Muslihat
Untuk
pengaturan tindak pidana Pemilu saat ini sudah diatur secara khusus di dalam
Undang-undang tentang Pemilu yang termuat di dalam ketentuan pidana di setiap
Undang-undang Pemilu antara lain :
1. UU
No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, yang di dalam pasal 115-Pasal 119
ketentuan Pidana (Tindak Pidana Pemilu Pemilukada)
2. UU
No 8 tahun 2012 tentang Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
3. UU
No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Di
setiap pelaksanaan Pemilu, baik Pemilu anggota legislatif, Presiden, maupun
kepala daerah memiliki Klasifikasi perbuatan yang termasuk ke dalam tindak
Pidana Pemilu, namun secara garis besar, perbuatan yang termasuk dalam klasifikasi
tindak pidana Pemilu meliputi :
1. Perbuatan
yang menghilangkan hak pilih orang lain
2. Mengganggu
tahapan Pemilu, dan menghilangkan Integritas Pemilu.
3. Praktik
curang untuk memenangkan salah satu kandidat peserta Pemilu
4. Politik
uang
5. Kampanye
hitam
6. Dll
(seperti yang termuat di dalam ketentuan pidana Perundang-undangan Pemilu).
Ketika
kita melihat tindak pidana pemilu yang terjadi selama tahapan penyelenggaraan
Pemilu, hal yang baiknya kita lakukan adalah melaporkannya kepada
Bawaslu/Panwaslu yang terdapat di lapangan. Jangan melaporkan tindak pidana
Pemilu yang terjadi ke pihak kepolisian, tidak akan digubris karena kewenangan
melaporkan tindak pidana Pemilu ke Penyidik Kepolisan adalah Bawaslu/Panwaslu
yang dimana hal ini dimuat di semua UU Pemilu di Indonesia.
Proses
penyelesaian tindak pidana Pemilu, diselesaikan dengan menggunakan KUHAP, namun
ada beberapa kekhususan terkait dengan tata cara pelaporan, dan jangka waktu
penyelesaian yang relative singkat dibandingkan dengna jangka waktu yang
tertuang di dalam KUHAP
Terkait
dengan Pelaporan tentang adanya dugaan tindak pidana Pemilu dapat dilaporkan
oleh Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, pemantau Pemilu, dan
peserta Pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling
lambat tujuh hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu. Secara umum, pelanggaran
diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai
lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan
pelaksanaan Pemilu.
Hal
ini yang menjadi keistimewaan di dalam penanganan tindak pidana Pemilu, karena
pelapor yang merupakan WNI, Pemantau Pemilu, maupun peserta Pemilu tidak dapat
melaporkan tindak pidana Pemilu secara langsung kepada Penyidik kepolisiam,
namun harus melalui Bawaslu terlebih dahulu, karena Bawaslu/Panwaslu yang
secara legal diberikan oleh Undang-undang untuk melaporkan tindak pidana Pemilu
yang terjadi kepada pihak Penyidik Kepolisian untuk dilakukan proses
selanjutnya.
Dalam
proses pengawasan tersebut, selain menerima laporan, Bawaslu dan Panwaslu juga
melakukan kajian atas laporan dan temuan pelanggaran, serta meneruskan temuan
dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. Jika laporan yang
diterima oleh Bawaslu mengandung unsur pidana, Bawaslu meneruskan laporan
tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan sesuai dengan hukum
acara pidana yang ditentukan oleh Peraturan Pemilu.
Berdasarkan
Peraturan Pemilu, batas waktu pelaporan yang ditentukan adalah tujuh hari sejak
perbuatan dilakukan. Jika pelaporan adanya dugaan tindak pidana dilakukan
sebelum lewat dari batas waktu yang ditentukan, laporan akan diterima oleh
Bawaslu dan selanjutnya akan dilakukan pengkajian terhadap laporan tersebut.
Dalam hal laporan tersebut mengandung unsur pidana, bawaslu meneruskan laporan
tersebut kepada penyidik dalam waktu paling lama 1x24 jam sejak laporan
tersebut diputuskan sebagai tindak pidana Pemilu..
Proses
penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14
hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Jadi, 14 hari sejak diterimanya
laporan dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan
beserta berkas perkara kepada Penuntut Umum Jika hasil penyidikan dianggap
belum lengkap, maka dalam waktu paling lama tiga hari penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan
petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik
maksimal tiga hari untuk kemudian dikembalikan
Kepada
Penuntut Umum. Maksimal lima hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas
perkara kepada pengadilan. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya
dugaan pelanggaran pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah
membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakkan hukum terpadu
(Sentra Gakkumdu).
Tindak
lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu oleh Kejaksaan adalah
pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung 12 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proses Persidangan Pelanggaran
Pidana Pemilu, Pemeriksaan perkara pidana Pemilu dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat. Pemeriksaaan biasa digunakan
untuk menyelesaikan perkara pidana Pemilu yang diancam dengan hukuman lebih
dari lima tahun. Persidangan pelanggaran pidana Pemilu dilakukan dalam tujuh
hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan negeri oleh hakim khusus yang
diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA. PERMA Nomor 03 Tahun 2008 tentang
Penunjukan Hakim Khusus Perkara Pidana Pemilu.
Dalam
hal terjadi penolakan terhadap putusan Pengadilan negeri tersebut, para pihak memiliki
kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan tinggi. Permohonan banding
terhadap putusan tersebut diajukan paling lama tiga hari setelah putusan
dibacakan. pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada
pengadilan tinggi paling lama tiga hari sejak permohonan banding diterima. pengadilan
tinggi memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana
dimaksud paling lama tujuh hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding
tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak
dapat diajukan upaya hukum lain.
Demikian
Sedikit penerangan mengenai Tindak Pidana Pemilu dan Proses penyelesaianya,
semoga dapat membantu dan mencerahkan kawan-kawan sekalian terkait dengan
Tindak Pidana Pemilu, dan bersama-sama melakukan upaya penanggulangan tindak
pidana Pemilu yang selalu terjadi di setiap penyelenggaraan Pemilu, agar
tercapainya Pemilu yang Luberjurdil dan Pemimpin serta wakil rakyat yang
terpilih melalui Pemilu dapat mensejahtrakan rakyat Indonesia.
Materi
yang dibahas :
1. Definisi
Tindak Pidana Pemilu
2. Ruang
Lingkup tindak pidana Pemilu
3. Klasifikasi
perbuatan yang termasuk tindak pidana Pemilu
4. Mekanisme
Penyelesaian tindak pidana Pemilu
SUMBER :
1. Topo
Santoso, 2006, Tindak Pidana Pemilu,
Jakarta: Sinar Grafika.
2. Janedjri
M.Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu,
Jakarta: Konpress.
3. Undang-undang
No 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD.
4. Undang-undang
No 48 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden.
5. Undang-undang
No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.
0 komentar:
Posting Komentar