Rabu, 07 Agustus 2013

KONVERSI BUDAYA


Berbicara tentang masa depan Bali dan bangsa Indonesia pada umumnya, kita tidak bisa lepas dari peran pemuda/pemudi sebagai regenerasi yang akan meneruskan cita-cita bangsa. Kebudayaan dan nilai-nilai luhur sebagai falsafah hidup bangsa, seharusnya sudah mendarah daging dan terus kita jaga kelestariannya. Dalam hal ini, pertanyaan yang timbul adalah bagaimana kondisi regenerasi Bali saat ini? Terlintas dalam pikiran ketika melihat kondisi lingkungan Bali Selatan yang kini menjadi pioneer dibandingkan wilayah Bali lainnya. Bali Selatan memiliki tingkat pembangunan infrastruktur yang cukup tinggi serta di-iringi pertumbuhan ekonomi yang pesat dari sektor pariwisata. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk mengundang banyak investor asing datang mencari uang ‘camilan’ dengan membangun tempat-tempat hiburan malam serta ‘bisnis gempita’ lainnya. Wilayah Kuta merupakan salah satu contoh yang dapat kita lihat perubahannya secara drastis. Berbagai macam hotel, club malam, discotic, spa, dan tempat hiburan lainnya telah menjamur dan sekarang menjadi mata pencaharian masyarakat dari berbagai wilayah di Bali bahkan di Indonesia. Kebudayaan Bali telah “ter-KONVERSI” dengan ganasnya Budaya Liberal yang masuk secara berganti di daerah tersebut. Life Style dan Behaviour wisatawan asing telah merasuk ke pikiran generasi muda. Dengan dandanan rock and roll ala Preman dan Sexy memakai baju/rok mini, pemuda/pemudi sudah siap berkeliling mencari tempat favouritenya. Kelap-Kelip lampu disco ditambah gesekkan piringan DJ, menghantarkan muda/mudi, pelajar bahkan mahasiswa bergoyang ria dipanggung dengan sebotol minuman alkohol serta cumbu manis si kupu-kupu malam. Gaya eksotis yang diperagakan oleh para dancer dengan sekejap meningkatkan gairah para tamu yang akan membelinya malam ini. Transaksi obat-obatan terlarang pun tak ayal kita jumpai di tempat hiburan malam khususnya di wilayah Kuta. Sungguh di luar ambang batas pikiran saat kita melihat betapa kebablasannya kebebasan dunia malam yang diberikan oleh Pemerintah dan warga setempat. Belum lagi keberadaan sekolah, banjar, bahkan tempat ibadah yang sangat dekat dengan tempat hiburan malam tersebut. Banyak perempuan setempat dari kalangan muda/mudi menjadi incaran empuk para wisatawan hidung belang, bahkan banyak juga dari mereka yang menjakjakan tubuh mereka secara gamblang. Candu narkotika yang menjadi idaman oknum makelar dari wisatawan asing pun lolos sampai ke tangan para pemuda/pemudi ini. Kenyataan yang sangat miris dan menyedihkan. Lantas bagaimana peran utama Pemerintah dalam menyikapi kenyataan tersebut? Apakah wilayah Bali atau bahkan pemuda/pemudi Bali akan tetap di “jual” secara paksa di masa yang akan datang? Solusi yang tepat harus dicari untuk mengembalikan akar budaya dalam diri pemuda/pemudi kita. Pembangunan serta pertumbuhan ekonomi Pariwisata tidak harus mengorbankan budaya masyarakat dan masa depan regenerasi penerus. Tawaran solusi yang terbaik adalah pembatasan investasi di bidang bisnis hiburan malam, pelarangan anak dibawah umur untuk masuk ke tempat hiburan malam, pelaksanaan sidak di waktu tertentu, serta relokasi terpusat tempat hiburan malam mencegah agar tidak merangsek dekat fasilitas umum pendidikan atau ibadah. Solusi ini bertujuan untuk menata ulang kembali dunia Pariwisata khususnya di Bali Selatan agar tidak berdampak buruk bagi regenerasi muda. Selain itu juga meminimalisir kecemburuan sosial di bidang Pariwisata antar wilayah Bali khususnya Bali Selatan dan Bali Utara. Dari opini diatas kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya Bali sebagai poros Pariwisata kebudayaan Indonesia harus memberikan tempat wisata yang mencerminkan Budaya Bali itu sendiri dengan tidak melupakan generasi muda penerus Bali dimasa yang akan datang. Kebudayaan merupakan daya tawar jual yang mahal tetapi bukan dengan menjual kebudayaan kita untuk meng-KONVERSI kannya ke budaya asing.

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di blog Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Bali, Terima kasih telah berkunjung di blog kami..